"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus".
(QS. Al-Bayyinah : 5)
Perintah Membayar Zakat
Perintah membayar zakat diulang sampai 32 kali di dalam Alquran, secara tersirat ini menunjukkan betapa pentingnya zakat dalam kehidupan umat. Salah satu perintah berzakat tersebut dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5, seperti tertulis diatas. Sedangkan dalam hadits-nya sendiri, Rasulullah juga beberapa kali menyampaikan perihal wajibnya hukum membayar zakat, salah satunya riwayat dari Ibnu Umar r.a.,
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Baca Juga : Inspirasi "Hidup 1000 Tahun Lagi" dari Kedermawanan Utsman bin Affan
Selain hukumnya yang wajib, di beberapa hadits lainnya Rasulullah juga memberi petunjuk terkait obyek zakat atau segala sesuatu yang dipakai untuk membayar zakat yang sesuai dengan sunnah-nya, yaitu berupa makanan pokok dengan takaran berat 1 sho’ atau antara 2,157-3,0 kg
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan sebelum manusia berangkat menuju shalat ‘ied.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984).
Dari hadis diatas, Rasulullah SAW menyebutkan kurma, gandum, anggur atau keju, sebagai bahan untuk membayar zakat. Bahan-bahan diatas menurut jumhur ulama dimaknai sebagai makanan pokok.
Menariknya, kenapa Rasulullah menyebutkan sampai beberapa jenis bahan pokok yang berbeda, yang sudah pasti harga per-sho atau kalau kita harga per kg-nya berbeda-beda!?
Baca Juga : Kisah "Rumus Bagi Tiga" Jalan Sederhana Menuju Keberkahan Harta
Menurut beberapa ulama, inilah hikmah pembayaran zakat harus memakai bahan pokok yang biasa dikonsumsi, bukan uang. Logikanya, seandainya Rasulullah membolehkan uang untuk zakat fitrah, tentu Rasulullah SAW tidak akan menyebut beberepa jenis bahan pokok untuk membayar zakat, tapi akan memerintahkan membayar zakat dengan makanan yang harganya sama jika diuangkan. Wallahu a'lam.
Berangkat dari pemahaman hadits Rasulullah diatas, jumhur ulama menyebut bahwa untuk membayar zakat fitrah afdhal-nya pakai bahan pokok, bukan uang. Lantas bagaimana bagaimana kalau membayar zakat secara online via aplikasi yang notabene bayar pakai uang?
Belum lagi fakta beras yang menjadi bahan pangan pokok masyarakat nusantara kita yang jenisnya berbeda-beda dan berkelas-kelas dengan harga yang berbeda pula. Apakah aplikasi online sudah sedetail itu mengakomodir kebutuhan para muzaki atau pembayar zakat?
Untuk zakat online, seharusnya proses tidak berhenti pada membayar atau transfer uang kepada penitia baik transfer manual maupun via aplikasi yang sedang ngetren saja, tapi sampai uang yang ditransfer dirupakan menjadi beras atau makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh muzaki atau pembayar zakat.
Baca Juga : Kisah "Rumus Bagi Tiga" Jalan Sederhana Menuju Keberkahan Harta
Kalau kebetulan, beras yang sama dengan yang biasa dimakan oleh muzaki tidak ada atau tidak didapatkan dengan berbagai alasan yang patut, ini yang agak repot! Meskipun jumhur ulama berpendapat boleh menggantinya dengan yang setara kualitas dan atau harganya, jadi disitu bisa berlaku hukum darurat.
Situasi inilah sebenarnya yang mendasari jumhur ulama berpendapat, membayar zakat harus lebih mendahulukan di lingkungan sekitar dan jika lingkungan sekitar sudah tidak lagi memerlukan dengan berbagai sebab, maka para muzaki baru boleh membayarkan zakatnya dimana saja.
Selain karena pertimbagan etika atau kepantasan dan juga logika, masak iya cari duitnya disini, tapi giliran bayar zakat atau sedekah lainnya dikirim ke tempat yang jauh, juga pertimbangan ekologi, maksudnya kalau kita menyalurkan zakat untuk warga sekitar, logikanya akan jauh lebih mudah dan memudahkan. Selain relatif dekat, jenis makanan pokoknya-pun juga sama.
Baca Juga : Kisah Kecerdikan Utsman bin Affan "Mengakuisisi" Sumur Yahudi
Kesimpulannya, secara prinsip menurut jumhur ulama, membayar zakat secara online tetap sah, hanya saja jangan sampai kemudahan-kemudahan membayar zakat via online ini justeru menjadikan kuman di Seberang Lautan Kelihatan, sedang gajah di pelupuk Mata Tak Kelihatan.
Maknanya, karena umumnya lembaga penerima zakat wilayah kerjanya nasional, jangan sampai zakat yang kita bayarkan justeru bisa memakmurkan masyarakat luar daerah yang jauh, sedangkan masyarakat di lingkungan sendiri malah terabaikan.
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H