Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Alat Musik Dayak Sape' dan Keledi, Instrumen "Sound of Borobudur" dari Kalimantan

5 Mei 2021   13:18 Diperbarui: 5 Mei 2021   13:21 2845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sound of Borobudur

Gerakan dan Gelaran Sound of Borobudur alias "membunyikan Borobudur" yang digagas oleh Sound of Borobudur Movement benar-benar berhasil membuat "kegaduhan" yang mengagetkan masyarakat nusantara, sekaligus menyengat kembali naluri keingitahuan khalayak terhadap mahakarya anak bangsa yang berdiri sejak 13 abad silam, Borobudur.

Dari Sound of Borobudur  masyarakat nusantara kembali disuguhi sisi lain dari Borobudur yang belum sepenuhnya tersingkap dan masih terpendam oleh tanah dan bebatuan, serta lebih sering tenggelam dalam ruang-ruang  penelitian yang lebih menjadi domain dari para pakar, ahli dan akademisi, yang sayangnya sampai sekarang justeru masih sangat minim publikasi, setidaknya yang sampai ke masyarakat umum.


Siapa sangka, ide yang berujung pada hajatan "membunyikan Borobudur" bagian dari Wonderful Indonesia ini, ternyata membangunkan masyarakat nusantara dari tidur panjangnya selama ber abad-abad, hingga baru menyadari struktur mandala raksasa yang sekarang dikenal sebagai Candi Borobudur, ternyata bukan sekedar peninggalan masa lalu (dead monument) dan obyek wisata favorit anak-anak sekolah semata, tapi Borobudur pusat musik dunia. Perpustakaan raksasa, pusat dokumentasi dan ensiklopedi musik dunia.

Bagaimana tidak, artefaktual berupa relief yang memvisualkan  226 relief dalam 40 panel berbeda dari total 1.460 panel relief cerita dan 1.212 panel relief dekoratif yang menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik ini, ternyata masih sangat aktual! Sampai sekarang, alat-alat musik dalam relief itu, masih banyak dimainkan di berbagai negara, termasuk di 34 propinsi di Indonesia.

Revitalisasi : Rekonstruksi-Reinterpretasi-Reaktualisasi | japungnusantara.org
Revitalisasi : Rekonstruksi-Reinterpretasi-Reaktualisasi | japungnusantara.org

Luar biasanya, alat musik dalam relief di candi Borobudur ini menggambarkan semua kategori alat musik yang ada di dunia secara lengkap, yaitu  kordofon (petik), aerofon (tiup), idiofon (pukul) dan membranofon (membran).  

Secara de facto,  ini jelas menunjukkan peran sentral Borobodur sejak 13 abad yang lalu sebagai salah satu pusat budaya dunia, khususnya seni musik, apalagi sejauh ini belum ditemukan situs-situs lain di dunia yang se-era dengan Borobudur, menampilkan relief alat musik sebanyak Candi Borobudur.

Pengenalan Sape', Keledi dan Instrumen Lain ke Publik | japungnusantara.org
Pengenalan Sape', Keledi dan Instrumen Lain ke Publik | japungnusantara.org

Berikut nama dan asal negara alat-alat musik yang terpahat dalam relief dinding Candi Borobudur hasil penelitian tim gerakan Sound of Borobudur yang dimotori oleh tiga musisi senior Indonesia, Ir.Purwatjaraka, Trie Utami dan Dewa Budjana tersebut : 

Ranat Ek (Thailand), Balafon (Gabon), Marimba (Congo/Tanzania), Garantung (Indonesia), Mridagam (India), Ghatam (India), Udu (Nigeria), Bo (China), Bhusya (Nepal), Darbuka (Egypt), Tifa (Indonesia), Small Djembe (Mali/West Africa), Traditional Drum (Srilanka), Muzavu (Tamil), African Drums, Tabla (India), Kendang (Indonesia), Conga (Latin America), Pipa (China), Setar (Iran), Oud (Saudi Arabia), Biwa (Japan), Lute (English), Ud (Turkey), Bowed String (Italia), Dombra (Kazakhstan), Saung Gauk (Myanmar), Ngobi (Algeria), Sakota Yazh (Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Harp, Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither (Peru), Kse Diev (Cambodia), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea), Keledik/Kedire (Indonesia), Sape' (Indonesia), Shio (Japan), Traditional Flute (Europe), Bansuri (India), Medieval Flute (Germany), Daegum (Korea), dan Suling atau seruling (Indonesia).

Sape' dan Instrumen dawai dari Intrepretasi Relief Karmawibhangga | japungnusantara.org-indro kimpling
Sape' dan Instrumen dawai dari Intrepretasi Relief Karmawibhangga | japungnusantara.org-indro kimpling

Dari daftar diatas, Indonesia menjadi penyumbang jenis alat musik terbanyak, dengan 6 jenis alat musik yang terdiri dari  Garantung, Tifa, Kendang,  Sape', Keledi dan Suling. 

Uniknya, keenam alat musik diatas berasal dari daerah berbeda-beda, Garantung dikenal dari Sumatera Utara, Tifa dari daratan Papua, serta kendang dan suling. Meskipun konsentrasi terbanyak ada di Pulau Jawa, tapi faktanya dua jenis alat musik ini, sekarang juga telah mempunyai sebaran yang cukup luas di pelosok nusantara, bahkan beberapa sampai level Asia Tenggara.

Khusus untuk Sape' dan Keledi, ini yang membuat orang Kalimantan wajib berbangga! Ternyata, dua alat musik Suku Dayak di Kalimantan ini mempunyai sejarah yang sangat panjang, sampai terpahat dengan visual yang sangat jelas dan identik sejak 13 abad silam di dinding Candi Borobudur.

Alat Musik Sape' di Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan | @kaekaha
Alat Musik Sape' di Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan | @kaekaha

Mengenal Alat Musik Sape'

Pada pahatan relief di dinding Karmawibhangga, ditemukan waditra (alat musik) berdawai dengan resonator langsing yang bentuknya relatif persegi panjang dan sedikit menggembung ke sisi samping kanan-kiri pada bagian tengah. Dari detail visualnya alat musik tersebut dikenali sebagai sape' atau sampe', alat musik tradisional Suku Dayak di Pulau Kalimantan. 

Nama sampe' atau sape' yang tersemat pada alat musik petik kebanggan Suku Dayak ini, juga berasal dari cara memainkannya yang dipetik. Kosakata sampe' dalam bahasa lokal Dayak maknanya "memetik dengan jari" khususnya untuk suku Dayak Kenyah, sedangkan sebutan sape' digunakan oleh Suku Dayak Bahau dan Kayaan. Sementara Suku Dayak Modang mengenal alat musik petik ini dengan sebutan sempe, sedangkan Suku Dayak Tunjung dan Banua mennyebutnya dengan kecapai. 

Sapek | timesmedia.co.id
Sapek | timesmedia.co.id

Konon alat musik sape’ diciptakan oleh pemuda yang selamat dari kecelakaan sampan yang akhirnya terdampar di sebuah daratan kecil di tengah sungai. Dalam renunganya, si-pemuda mendengar suara musik dari dasar sungai yang menginspirasinya untuk membuat alat musik dengan bunyi yang identik dengan yang didengarkannya tadi.

Uniknya, bentuk resonator Sape' yang biasanya dibuat dari jenis kayu keras, kuat dan tahan lama, seperti kayu ulin, kayu arrow, meranti, kayu kapur dll yang  bagian kepalanya biasa dihias dengan visualisasi kepala burung Enggang itu bentuknya menyerupai sampan, langsing memanjang dan penuh dengan motif ukiran khas Dayak yang sangat mempesona.

Diskripsi Alat Musik Sape' di Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan | @kaekaha
Diskripsi Alat Musik Sape' di Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan | @kaekaha

Umumnya, sape' mempunyai jumlah dawai antara 2 sampai 6 yang umumnya sekarang menggunakan kawat kecil bukan serat dari pohon enau seperti yang dipakai nenek moyang dahulu 

Prinsip kerja sape’ mirip dengan gitar, begitu pula cara memainkannya, teknik petik. Hanya saja untuk kunci notasinya berbeda. Sedangkan jenis sape' sendiri sangat beragam dan pasti berbeda-beda, terutama jika dilihat dari ukuran, ukiran dan juga jumlah dawainya. Semua tergantung dari sub suku Dayak yang memilikinya. Persis dengan namanya yang juga berbeda-beda walaupun secara fonetik masih mempunyai kemiripan yang identik.

Tekni bermain sape' yang harus dipetik, akan mengeluarkan dentingan nada yang begitu syahdu dan mudah menyentuh perasaan. Tidak heran jika kemudian, permainan sape' juga dipakai untuk mengiringi tarian-tarian dalam ritual upacara adat Dayak. Selain itu, juga sangat efektif untuk untuk menyatakan perasaan, baik senang maupun sedih.


Jaman dahulu, konon awalnya lantunan musik yang riang hanya boleh dimainkan pada siang hari, sedangkan lantunan musik yang syahdu dimainkan pada malam hari. Dentingan yang indah dari sape’ juga digunakan untuk .

Pada Dayak Kenyah dan Dayak Kayaan, terdapat sastra lisan turun-temurun bernama 'Tekuak Lawe" yang ringkasnya berbunyi "sape benutah tulaang to’awah" yang makna filosofisnya berarti sape’ mampu meremukkan tulang-tulang hantu yang gentayangan yang maksudnya bahwa dentingan suara sape’ dapat membuat menyentuh perasaan hingga membuat orang yang mendengarnya merinding.

Keledi | Musium Negeri Sri Baduga Bandung
Keledi | Musium Negeri Sri Baduga Bandung

Lebih Dekat dengan Keledi

Keledi merupakan alat musik tiup tradisional yang lazim dimainkan oleh masyarakat Suku Dayak di seluruh penjuru Pulau Kalimantan. Tidak heran alat musik yang terbuat dari kombinasi batang-batang bambu kecil dan labu yang dikeringkan ini mempunyai nama yang sangat banyak sekali alias berbeda-beda antara sub suku Dayak yang memainkannya. 

Masyarakat Dayak di Kabupaten Sintang menyebutnya sebagai Kledik, masyarakat Dayak Iban menyebutnya keluri atau enkulurai, sementara masyarakat Dayak Ot Danum menyebutnya sebagai korondek. Tidak hanya itu, masyarakat Dayak di Kaimantan Timur menyebutnya sebagai Kadire atau Kedire  dan banyak lagi nama-nama lainnya, seperti Kaldei, keruru, Kaduri dll.

Keledi atau Kledik khas dari Kabupateng Sintang atau tepatnya dari Desa Nanga Tebidah, Kecamatan Kayan Hulu, telah mendapatkan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) pada 20 Oktober 2015

Keledi dalam Desain Perangko Lama | old-stamps.com
Keledi dalam Desain Perangko Lama | old-stamps.com

Jika menarik data dari fakta visualisasi keledi di dalam relief Candi Borobudur yang diperkirakan berdiri lebih dari 13 abad silam atau lebih dari 1300-an tahun, keterangan dari beberapa sumber yang menyatakan perkiraan usia alat musik keledi ini mencapai 3000-an tahun sepertinya bukan isapan jempol semata. 

Itu artinya, Keledi merupakan instrumen organ tertua di Indonesia bahkan bisa jadi di level dunia, karenanya banyak yang menduga, organ mulut khas masyarakat Dayak ini merupakan salah satu inspirasi dan juga cikal bakal terciptanya alat musik organ modern.

Untuk membuat Keledi yang sangat unik dan eksotik, yakni berupa susunan sejumlah tabung/ruas bambu dengan panjang berbeda yang dihubungkan dengan sebuah labu, dibutuhkan bahan buah labu tua berumur sekitar 5-6 bulan yang dibuang isinya, direndam satu bulan dan selanjutnya dikeringkan, serta beberapa ruas batang bambu kecil.

Memainkan Keledi | haipedia.com
Memainkan Keledi | haipedia.com

Untuk menyatukan buah labu dan batang-batang bambu digunakan perekat dari sarang kelulut (sejenis lebah hutan penghasil madu yang berukuran lebih kecil). Sedangkan tabung ruas bambu disatukan dengan ikatan tali. Fungsi dari tabung dari ruas-ruas bambu ini adalah untuk menghasilkan nada-nada pentatonik dari yang paling tinggi sampai yang paling pendek.

Cara memainkan keledi juga mirip dengan harmonika, jadi tidak hanya sekedar ditiup saja, tapi juga ada bagian nada yang untuk mendapatkannya harus dihisap. Untuk itu, sebagaimana layaknya para pemain alat musik tiup lainnya, untuk bisa memainkan keledi dengan baik harus mempunyai nafas yang relatif panjang dan juga kemampuan untuk mengatur nafasnya, biar tidak ngos-ngosan!

Lazimnya, Keledi dimainkan saat berlangsung ritual adat suku Dayak, iringan tari-tarian tradisional, nyanyian dan teater tutur khas Dayak. Sayang, eksistensi Keledi terus menurun, keberadaanya masih kalah populer dengan alat-alat musik tiup modern, termasuk pianika saudara mudanya.


Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun