Umumnya, sape' mempunyai jumlah dawai antara 2 sampai 6 yang umumnya sekarang menggunakan kawat kecil bukan serat dari pohon enau seperti yang dipakai nenek moyang dahuluÂ
Prinsip kerja sape’ mirip dengan gitar, begitu pula cara memainkannya, teknik petik. Hanya saja untuk kunci notasinya berbeda. Sedangkan jenis sape' sendiri sangat beragam dan pasti berbeda-beda, terutama jika dilihat dari ukuran, ukiran dan juga jumlah dawainya. Semua tergantung dari sub suku Dayak yang memilikinya. Persis dengan namanya yang juga berbeda-beda walaupun secara fonetik masih mempunyai kemiripan yang identik.
Tekni bermain sape'Â yang harus dipetik, akan mengeluarkan dentingan nada yang begitu syahdu dan mudah menyentuh perasaan. Tidak heran jika kemudian, permainan sape' juga dipakai untuk mengiringi tarian-tarian dalam ritual upacara adat Dayak. Selain itu, juga sangat efektif untuk untuk menyatakan perasaan, baik senang maupun sedih.
Jaman dahulu, konon awalnya lantunan musik yang riang hanya boleh dimainkan pada siang hari, sedangkan lantunan musik yang syahdu dimainkan pada malam hari. Dentingan yang indah dari sape’ juga digunakan untuk .
Pada Dayak Kenyah dan Dayak Kayaan, terdapat sastra lisan turun-temurun bernama 'Tekuak Lawe" yang ringkasnya berbunyi "sape benutah tulaang to’awah" yang makna filosofisnya berarti sape’ mampu meremukkan tulang-tulang hantu yang gentayangan yang maksudnya bahwa dentingan suara sape’ dapat membuat menyentuh perasaan hingga membuat orang yang mendengarnya merinding.
Lebih Dekat dengan Keledi
Keledi merupakan alat musik tiup tradisional yang lazim dimainkan oleh masyarakat Suku Dayak di seluruh penjuru Pulau Kalimantan. Tidak heran alat musik yang terbuat dari kombinasi batang-batang bambu kecil dan labu yang dikeringkan ini mempunyai nama yang sangat banyak sekali alias berbeda-beda antara sub suku Dayak yang memainkannya.Â
Masyarakat Dayak di Kabupaten Sintang menyebutnya sebagai Kledik, masyarakat Dayak Iban menyebutnya keluri atau enkulurai, sementara masyarakat Dayak Ot Danum menyebutnya sebagai korondek. Tidak hanya itu, masyarakat Dayak di Kaimantan Timur menyebutnya sebagai Kadire atau Kedire dan banyak lagi nama-nama lainnya, seperti Kaldei, keruru, Kaduri dll.