Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Kisah Orang-orang Rawa Menyeimbangkan Hidup dan Kehidupan di Bulan Ramadan

23 April 2021   17:02 Diperbarui: 23 April 2021   22:01 1936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Sebagian besar masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan hidup di lingkungan perairan darat, berupa rawa dan sungai dengan intensitas ukuran yang beragam. Tidak heran jika kemudian semua aspek kehidupan Urang Banjar tidak bisa lepas dari keberadaan sungai dan rawa.

Rawa-rawa di Kalimantan selatan juga mempunyai keragaman ekosistem yang sangat unik, terutama di kawasan rawa dalam yang telah mendapatkan sentuhan manusia. 

Proses interaksi antara manusia dengan ekosistem perairan darat di Kalimantan Selatan yang berlangsung selama berabad-abad, melahirkan berbagai kearifan lokal khas Urang Banjar yang kelak dikenal secara umum sebagai budaya sungai, budaya kehidupan yang menjadikan perairan darat sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di bulan istimewa, bulan Ramadan.

Baca Juga :  "Belungka Batu" Bertebaran di Pinggir Jalan, Pertanda Ramadan Sebentar Lagi!

Kearifan budaya sungai ala Urang Banjar  yang pada dasarnya berprinsip pada keseimbangan, bagaimana bisa tetap menjaga di saat mengeksploitasinya, bagaimana bisa menikmatinya secara maksimal di saat harus terus meremajakannya, pada gilirannya mempertemukan akan budaya hidup berkeseimbangan ini dengan aspek kehidupan lain yang bisa jadi tidak berhubungan secara langsung dengan sungai maupun rawa, seperti ranah spiritual, berkesenian dan berpakaian, bahkan mungkin juga cara berkuliner atau budaya gastronomi-nya. 

Iwak Babanam | @kaekaha
Iwak Babanam | @kaekaha

Khusus untuk urusan dunia makan-memakan alias kuliner, Urang Banjar juga mempunyai cara berkeseimbangan yang cukup unik, sehingga meskipun hidup di lingkungan air dan perairan yang panas tapi lembap, fisik tetap prima, kesehatan badan tetap terkontrol dengan baik meskipun menjalankan puasa ramadan sebulan penuh.

Urang Banjar, apalagi yang tinggal di lingkungan rawa dalam, terbiasa mencukupi kebutuhan pangan mereka dari hasil kekayaan sungai dan rawa yang ada di sekitarnya. Mulai dari kebutuhan bahan pokok seperti beras dan juga lauk pauknya, baik sayuran maupun beragam jenis ikan dan unggas-unggas yang berhabitat di air. Ini uniknya!

Ragam Beras Banjar | @kaekaha
Ragam Beras Banjar | @kaekaha

Untuk kebutuhan beras, Urang Banjar mempunyai produk sendiri yang biasa disebut sebagai beras Banjar, yaitu komoditas beras khusus yang hanya bisa ditanam di lahan rawa, seperti jenis beras unus, mayang, pudak dll. Ciri utama sekaligus keunikan khas dari beragam beras Banjar adalah bulir padinya yang rata-rata kecil-kecil (separuh dari beras pada umumnya) dan kalau dimasak akan menghasilkan nasi karau atau nasi pera dengan tekstur yang unik.

Baca Juga :  Kisah "Madam", Memahami Tradisi Merantau Urang Banjar ke Berbagai Penjuru Dunia

Ragam pangan hasil sungai/rawa yang membentuk budaya kuliner khas Urang Banjar selanjutnya adalah sayur-sayuran. Hanya saja, secara tradisi, sebenarnya budaya kuliner Urang Banjar relatif tidak "mengenal" sayur-sayuran, jika sayur-sayuran yang dimaksud adalah jenis sayur-sayuran yang umum dijual di pasar-pasar tradisional di Pulau Jawa, seperti kubis, sawi, bayam, kentang, wortel yang secara generalisir biasa disebut sayuran gunung oleh Urang Banjar.

Sayur Batang Talipuk aatau Batang Teratai | @kaekaha
Sayur Batang Talipuk aatau Batang Teratai | @kaekaha

Sedangkan yang dimaksud sayuran dalam kuliner Urang Banjar, mayoritas juga berasal dari ekosistem rawa/sungai di sekitar lingkungan tempat tinggalnya dan sepertinya asing ditelinga masyarakat umum, seperti batang  talipuk atau batang bunga teratai (Nymphae  pubescens Willd), Genjer (Limnocharis  flava), Kalakai atau pakis (Stechnolaena palustris), pucuk daun supan-supan dll.     

Baca Juga :  Kojima Solusi Praktis Gaya Hidup Sehat ala Rasulullah

Setelah beras dan sayuran, kekayaan hasil sungai dan rawa lainnya yang punya andil besar membentuk keseimbangan budaya kuliner khas Urang Banjar adalah aneka jenis ikan dan unggas berhabitat rawa. 

Iwak Haruan atau Ikan Gabus | @kaekaha
Iwak Haruan atau Ikan Gabus | @kaekaha

Pada dasarnya, Urang Banjar memakan semua jenis ikan sungai/rawa yang hidup bersama-sama dalam ekosistem khas banua, tapi umumnya mempunyai ketergantungan sangat tinggi terhadap dua jenis ikan yang paling banyak terlibat dalam kuliner tradisionalnya, yaitu ikan haruan atau ikan gabus (Channa Striata) dan ikan papuyu  atau ikan betok/betik (Anabas Testudneu).

Urang Banjar, apalagi yang tinggal di lingkungan rawa dalam, tiga elemen makanan sehari-hari diatas, beras banjar, sayur dan ikan rawa/sungai dan atau unggas rawa, semaksimal mungkin diusahakan harus ada di bawah tudung saji dan cukup sesuai kebutuhan, karena dengan kelengkapan itulah keseimbangan berkuliner yang akan membawa dampak pada kesehatan tubuh ala Urang Banjar diyakini akan terpenuhi. Termasuk untuk menjaga keseimbangan asupan gisi makanan di bulan Ramadan.

Memang, seiring dengan banyaknya pendatang yang masuk ke banua Banjar, akhirnya juga memungkinkan terjadinya akulturasi budaya, termasuk urusan budaya kuliner. Salah satu yang paling menonjol terlihat adalah adanya pergeseran untuk jenis sayur-sayuran konsumsi, di mana sekarang Urang Banjar mulai terbiasa dengan "sayuran gunung", bahkan belakangan sayuran rawa justeru mulai langka di bawah tudung saji.  

Aktifitas Harian Orang Rawa | @kaekaha
Aktifitas Harian Orang Rawa | @kaekaha

Selain berkeseimbangan dalam urusan kuliner, Orang rawa juga memperhatikan aktifitas fisik sebagai bentuk keimbangan hidup, termasuk disaat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan.

Tidak jauh berbeda dengan peradaban masyarakat yang tinggal daratan pada umumnya, Orang rawa secara tradisional juga mempunyai rumusan gaya hidup sehat dan bugar sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan hidup yang masih identik dengan tradisi dan budaya sungai yang sampai sekarang tetap  eksis dan dipertahankan, yaitu aktif bergerak dan cukup istirahat.

Untuk aktif bergerak disini sifatnya umum dan luas, termasuk di dalamnya aktivitas berolahraga. Maksudnya, olahraga juga menjadi bagian terpenting bagi gaya hidup sehat dan bugar Orang rawa, walaupun tidak secara khusus menjadikan olahraga sebagai satu-satunya sarana sehat dan bugar, karena secara faktual memang banyak aktivitas harian orang rawa yang mempunyai manfaat setara dengan berolahraga, salah satunya aktivitas di rawa-sungai yang identik dengan olahraga renang, lompat indah, menyelam, dayung bahkan perahu naga. Asyik kan?

Sehari-hari, orang rawa mandi dengan berenang dan berlompatan layaknya atlit lompat indah dari batang (sejenis dermaga rumahan dari kayu log sederhana), mencari ikan dengan mambanjur (cara memancing khas masyarakat Banjar) dan juga memanen ikan dari tampirai (jebakan ikan) yang ditempatkan di tempat-tempat yang diduga banyak ikannya di sepanjang sungai/rawa sejauh kira-kira 5 km PP dengan mengendarai jukung, perahu kecil dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) atau kayu besi yang jauh lebih berat dari canoe.

Baca Juga :  Mereka yang Pantang Berpangku Tangan

Tidak jarang, jika kawat unjunan (mata pancing) di bawa ikan sembunyi sehingga nyangkut di kedalaman sungai, maka wajib menyelam untuk memeriksa sekaligus mengambilnya kembali. Ini rutinitas bernilai olahraga ala orang rawa. Tidak heran jika kemudian banyak atlet dayung, perahu naga, renang dan lompat indah nasional berasal dari Kalimantan Selatan.

Aktivitas senilai olahraga ini sangat efektif menyeimbangkan asupan makanan berlebih yang terkadang menjadi momok menakutkan bagi kesehatan yang apabila tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan banyak penyakit, sekaligus menjaga keseimbangan berat badan di bulan Ramadan yang terkadang lepas kontrol mengonsumsi makanan.

Mendayung Jukung | @kaekaha
Mendayung Jukung | @kaekaha

Dalam lingkungan Urang Banjar dikenal ungkapan "Umur kada babau" (Umur tidak berbau) yang dimaknai sebagai ajal bisa datang sewaktu-waktu yang menjadi sugesti Urang Banjar untuk lebih qana’ah, berhati-hati dan berusaha selalu mendahulukan semua niat ibadah dan amalan baik.

Baca Juga :  Es Belungka Batu Teman Berbuka Puasa dari Kota 1000 Sungai

Dalam konteks ini, sebagai entitas budaya yang dikenal begitu dekat dengan tradisi dan budaya Islam, Orang rawa sebagaimana Urang Banjar pada umumnya, terbiasa menjadikan semua aktivitas sehari-hari tidak hanya sebagai bentuk berkeseimbangan dalam menjalani hidup, tapi juga sebagai sarana beribadah kepada-Nya, termasuk makan, mencari nafkah, berolahraga dan juga istirahat!   

Maknanya, istirahat tidak hanya sekedar tidur atau duduk-duduk santai saja, tapi semua aktivitas yang cukup bisa menjadikan fisik, psikis dan juga spiritualnya menjadi sehat dan segar bugar.

Semoga bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun