Shalawat Tarhim dan Azan subuh belum berkumandang di angkasa ketika perempuan-perempuan tangguh ini sudah harus mengayunkan dayung masing-masing di keheningan sungai Martapura yang gelap, mengular membelah jantung kota dengan jukung-jukung kecil kayu ulin.
Ibu-ibu yang tidak muda lagi ini berdagang di pasar terapung yang tersebar di beberapa titik, Lok Baintan dan Siring Kota menjadi yang terbesar dan terkenal.
Tidak sekedar mencari nafkah, karena posisinya yang dipaksa keadaan menjadi tulang punggung keluarga, mereka juga berjasa besar melestarikan salah satu budaya sungai khas Banjarmasin yang terancam punah, pasar terapung.
Sementara itu, salah satu rantai pasok di darat yang biasanya bertransaksi dengan cara bapanduk atau barter dengan partner mereka di atas sungai,  khusus di bulan puasa bisa berjualan, pagi setelah subuh atau sore selepas Ashar.Â
Disudut lain, pedagang  ikan sungai/rawa, juga harus mendayung jukung dulu sampai ribuan meter, melawan arus sungai yang terkadang harus bertaruh nyawa untuk bisa bertemu dengan pembelinya, untuk bisa mendapatkan rupiah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga.Â
Ramadan di Kota 1000 Sungai, memang tidak bisa lepas dari sentuhan lembut nan perkasa perempuan-perempuan tangguh, termasuk Acil pedagang kambang barenteng (bunga rangkai),  tradisi Banjar yang juga hampir punah.
Aneka kambang (bunga) yang dirangkai menjadi sangat cantik untuk berbagai keperluan ini, sekarang mulai jarang terlihat, kecuali hari-hari tertentu.
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan  Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H