Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duel dengan Beruang Lapar

3 April 2021   08:00 Diperbarui: 3 April 2021   08:01 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun Karet | popularitas.com

Bismillah ...

Mentari pagi masih belum benar-benar menampakkan sinar emasnya pagi itu, ketika aku mulai meminta  perlindungan dan pertolongan pada Sang Khaliq, agar semua aktifitasku pagi ini mendapat ridha dan restu-Nya, sekaligus menjadikannya bernilai ibadah.

Sebelum kakiku mulai menapaki beberapa anak tangga pondok kayu yang sengaja  dibangun abah dan beberapa kerabat di tepian kebun karet kami yang lokasinya di punggung bukit sebelah barat kampung kami, tidak jauh dari rangkaian Pegunungan Meratus.

Baca Juga :  Setelah Kutinggalkan Dia dalam Keadaan Hamil                        

Pondok dengan kerangka kayu ulin dan berdinding papan dari kayu hutan ini, menjadi tempat tinggal kami setiap kali kami harus memantat pohon karet yang lokasinya memang agak jauh dari pemukiman kampung kami ini. 

Biasanya, kami berombongan atau berangkat bersama-sama dengan beberapa kerabat dan tetangga tiap kali menuju ke kebun dan menginap, tapi karena beberapa hari ini banyak warga kampung kami yang tiba-tiba terserang demam, akhirnya kemarin sore aku hanya berduaan dengan abah berangkat ke kebun agar bisa segera memantat pagi-pagi.

Pagi ini, setelah shalat Subuh berjamaah dengan abah, aku sengaja turun dulu ke kebun untuk memantat beberapa pokok di petak kebun yang tidak terlalu jauh dari pondok, sedangkan abah, karena penglihatannya sedang kurang baik dan kebetulan juga sedang sedikit demam.

Kuminta untuk tinggal di pondok saja sambil menunggu mama dan adik perempuanku yang biasanya pada waktu dhuha selalu mengantarkan sarapan untuk kami. 

Ibu-ibu Menggendong Butah yang Berisi Beragam Syuran Hutan Kalimantan | tumbangbaraoi.co
Ibu-ibu Menggendong Butah yang Berisi Beragam Syuran Hutan Kalimantan | tumbangbaraoi.co

Setiap menuju kebun, tradisi kami selalu memantabkan diri dengan bekal wajib berupa sebilah mandau yang selalu terselip di pinggang sebelah kiri atau sebelah kanan bagi yang kidal dan beberapa perlengkapan seperti pisau sadap.

Sebungkus rokok kretek yang juga berkhasiat untuk mengusir nyamuk betina yang biasa menggodaku serta sebotol kopi hitam nashittel atau panas pahit dan kentel pengusir kantuk yang semuanya dimasukkan dalam butah.

Jujur aku katakan, kami penghuni tepian hutan, memang lebih mewaspadai kehadiran beberapa jenis binatang buas yang kadang-kadang nyelonong masuk kebun bahkan kampung tempat tinggal kami, daripada jenis hantu-hantuan dan teman-temannya.

Karena binatang buas seperti harimau dahan, beruang madu, babi hutan,ular phyton dan lain-lainnya sering juga menyerang manusia jika merasa terancam. Jelas beda dengan hantu-hantuan yang hanya suka menggoda ... betulkan?

Baca Juga :  Ustad Abdul Meninggal Bukan Karena Doaku!                        

Meskipun suasana kebun saat itu masih relatif gelap, keremangan pagi itu tetap saja tidak mengganggu penglihatanku, selain karena kebersihan kebun kami selalu terawat sehingga tidak ada semak atau gulma pengganggu yang bisa menjadi tempat persembunyian binatang-binatang buas dan liar yang berbahaya, juga karena sejak kecil aku sudah terlatih hidup di alam. Maklum ya, inilah anak Kalimantan!

Cahaya mentari sudah lebih terang ketika aku sudah sampai di lokasi petak kebun yang pokoknya akan dipantat, hanya saja karena lokasinya masih ditepian kebun yang artinya juga tidak terlalu jauh dari tepian hutan.

Maka aku tetap wajib waspada pada gerakan dan bunyi-bunyian selembut apapun yang muncul di sekitarku, terutama jika aku harus membelakangi kawasan hutan perawan di tepian kebun yang berjarak hanya sepelemparan batu saja.

Namamya juga hutan Kalimantan, salah satu vegetasi hutan hujan tropis yang sampai detik ini diyakini masih menyimpan beragam misteri tak terungkap, termasuk kemungkinan jenis-jenis binatang buas dan raksasa penghuninya yang sepertinya masih saja menjadi bagian paling misterius.

Kebun Karet | popularitas.com
Kebun Karet | popularitas.com

Setelah berhasil memantat sekitar seperempat petak, aku memutuskan untuk istirahat sejenak dengan duduk bersandar pada pohon karet. Untuk berjaga jaga, aku lebih memilih untuk menghadap ke arah hutan.

Setelah menuang kopi hitam kental kedalam cangkir, aku langsung menyalakan sebatang rokok untuk memaksimalkan kenyamanan istirahatku dan tidak berselang lama.

Karena tadi malam sempat begadang sampai lepas tengah malam, menjaga abah yang demamnya semakin babangat, ditambah dengan rayuan angin sepoi-sepoi dari hutan dan juga nikmatnya hisapan rokok kretek, perlahan-lahan membuat mataku berangsur terkantuk-kantuk, hingga akhirnya bener-bener  ... grooook ... grooook ... groooook. Aku tertidur dan biasanya mangaruh!

Baca Juga :  Misteri Kematianmu Sehari Setelah Kita Menikah, Akhirnya Terjawab Sayang!                        

Entah berapa lama aku tertidur dibawah pohon karet itu, aku terbangun gara-gara kakiku yang terselonjor seperti tertimpa benda yang besar dan berat sekali, hingga aku merasa kesakitan dan akhirnya terbangun.

Betapa terkejutnya aku, begitu mataku benar-benar terbuka sempurna dan nyawaku juga telah benar-benar terkumpul, tepat dihadapanku dan sekarang tengah menginjak kedua kakiku, tapi berdirinya agak sempoyongan seekor beruang jantan dengan tubuh tinggi besar kira-kira dua meteran, tengah menatapku dengan cakar-cakar dan taring tajamnya yang telah pula siap merobek dadaku!

Perlahan-lahan aku mencoba meraih mandau yang terikat di pinggang kiriku dengan mataku tetap tidak berkedip menatap si beruang yang beberapa bagian tubuhnya terlihat meneteskan darah. 

Duel dengan siapa beruang ini bisa sampai terluka parah? Saat itulah, tiba-tiba aku teringat dengan abah yang istirahat di pondok karena masih demam. Jangan-jangan ... 

"Abaaaaaaaaaaaaaah ...!" Demi teringat abah, spontan aku berteriak sekencang-kencangnya  sambil menghentak tubuh untuk melepaskan injakan dua kaki beruang yang beratnya kira-kira setara empat sak semen itu. 

Luar biasanya, atas kuasa-Nya, beruang madu raksasa itu ternyata justeru tumbang dihadapanku, mungkin karena kehabisan darah akibat beberapa mata luka yang terlihat menganga dibeberapa bagian tubuhnya. Beruang jantan itu jatuh tersungkur dihadapanku dengan mengeluarkan bunyi bedebum.

pondok di tepi hutan | sosok.grid.id
pondok di tepi hutan | sosok.grid.id

Begitu lepas dari injakan si beruang, aku langsung lari secepat-cepatnya menuju pondok sambil memanggil-manggil abah. "Kenapa tidak ada jawaban!?" Gumamku dalam hati.

"Astaghfirullah, abah ... abaaaaah!" Kudapati tubuh abah juga bersimbah darah, tergeletak di belakang pintu. Meskipun beliau tidak sadarkan diri, tapi napas dan denyut nadi sidin masih ada, meskipun sepertinya terus melemah.

Melihat seisi ruangan pondok yang berantakan dan berhamburan, bahkan meja makan dan kursinya sampai terbalik dan patah di beberapa bagian, termasuk menghamburkan sisa-sisa perbekalan kami kemarin sore, sepertinya baru saja terjadi pertarungan hebat di tempat ini. 

Syukurnya, setelah kupindahkan ke tilam tempat istirahat dalam pondok, secara perlahan sidin mulai sadarkan diri, darah segar dari beberapa mata luka akibat cakaran beruang di bagian kepala, dada, punggung dan bekas gigitan di lengan juga di beberapa bagian tumit dan pangkal kedua paha, juga sudah tidak mengucur lagi setelah kututup dengan ramuan tradisional khas kampung kami dari bahan daun-daunan hutan. 

Sidin langsung mengucap syukur dan minta minum air putih. "Mana mandauku!? Kayapa beruangnya?" tanya sidin setelah meneguk air putih segar dari gelas.  

"Itu mandau pian masih ada di lantai, parak pian terabah tadi. Kalau beruangnya sudah mati jua bah, disana di petak ujung barat!" jawabku sambil menunjukkan lokasi tergeletaknya si beruang raksasa dibawah pokok karet tempatku istirahat tadi.

Alhamdulillah!

 

Kamus Bahasa Banjar : 

butah =  sejenis tas ransel tradisional yang dibuat dari anyaman rotan atau bambu.

babangat = semakin

memantat  = menyadap  

Mengaruh = ngorok/mendengkur

Tilam  = kasur

Sidin  = beliau

Parak = dekat

Terabah = tergeletak

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun