Naaaaah, kalau sudah begitu, pasti deh semua semakin penasaran. Kenapa dikasih nama bancir? Bagaimana penampakan mienya? Bagaimana memasakknya? Naaaaah, bener khan, banyak banget, tanda tanyanya dalam sepiring mie bancir!
Baca Juga :  Berani Mencoba "Galaknya" Sajian Jangan Lombok?            Â
Nama "Bancir"Â melekat pada olahan mie khas Kota 1000 Sungai ini menurut beberapa sumber, termasuk Muhammad Said, putera dari orang yang pertama kali mempopulerkan Mie Bancir, sekaligus pemilik warung Merasa Maka Tahu.
Salah satu warung penyedia Mie Bancir paling populer di Kota 1000 Sungai, merujuk pada penampilan dari mie bancir itu sendiri yang serba nanggung, mirip dengan filosofi makna dari kosakata asalnya.
Mie Bancir disajikan dalam keadaan setengah basah. Penampilannya antara berkuah dan kering (mungkin ada kedekatan dengan sebutan orang Jawa untuk istilah, nyemek-nyemek). Disebut berkuah, tapi karena kuahnya kental dan tidak terlalu banyak maka sekilas seperti kering, layaknya mie goreng. Â
Kesan nanggung alias setengah-setengah inilah yang menyebabkan sajian kuliner ini akhirnya lebih familiar  dengan sebutan Mie Bancir.Â
Mie Bancir Orisinil
Olahan Mie Bancir berbahan dasar mie kuning berbentuk gilig dengan ukuran sedikit lebih tebal dari pada mie telor atau mie instan yang sering kita konsumsi.Â
Uniknya, untuk bumbu dasar kuahnya merupakan bahan yang sama untuk membuat hidangan Sop/Soto Banjar dengan ditambah saus tomat khas Banjar yang biasanya justeru disebut sebagai saus Surabaya. Artinya, ada aroma Soto Banjar yang kaya rempah, salah satu kuliner legendaris lainnya dari bumi Banjar dalam sajian Mie Bancir.
Untuk penyajiannya, Mie Bancir yang orisinil biasanya (hanya) di beri topping suwiran daging ayam kampung, irisan telur itik, taburan bawang goreng, irisan daun sop/seledri dan irisan limau kuit atau jeruk nipis.Â
Mie Bancir orisinil yang banyak di jual di warung, kedai atau restoran, umumnya tidak memberikan tambahan sayuran hijau dalam masakan seperti layaknya masakan mie di daerah lain. Kalaupun ada sayuran, biasanya berupa kol yang dirajang. Itupun juga tidak terlalu dominan, bahkan bisa dibilang sedikit sekali.
Fakta ini jelas bagian dari adaptasi dengan fakta geografis Kota 1000 Sungai dan Kalimantan Selatan yang secara umum lebih di dominasi oleh lahan basah berupa rawa-rawa. Sehingga relatif sulit untuk berkebun sayur-sayuran hijau.Â