Jika menggunakan parameter bener tur bener sebagai bagian seni mengkritik, artinya kita memang harus menggunakan variabel bener atau benar dan pener yang bisa dimaknai sebagai tepat secara benar juga.
Parameter bener atau benar disini lebih kearah substansi, maknanya kita mengkritik memang pada "bagian" yang layak dikritik, bukan mencari-cari kesalahan dan maksud-maksud sejenis, selain itu materi  kritikannya juga wajib fokus pada permasalahan substansialnya alias tidak melebar kemana-mana.
Kalau mencontohhan dari "masalah Darto" diatas, Saya menasihati (dalam konteks kita saat ini mengkritik) Darto karena dia memang bolos beberapa hari, ini sudah benar! Ada alasan kuat bagi saya untuk menasihati dia dan saya tidak dalam kapasitas mencari-cari kesalahan dia. Begitu juga untuk materi kritikan/nasihatnya tentu wajib "nyambung" dengan konteks mbolos-nya Si Darto. Â
Sedangkan untuk parameter pener yang bisa masuk ke dimensi cara/metode, waktu, tempat bahkan bisa juga momentum, saya kira sebagai makhluk sosial, kita pasti bisa menimbang-nimbang "rasa kepantasannya"
Jika mengambil kembali contoh "drama saya dengan Darto", seharusnya saya bisa menimbang derajat kepantasan tindakan saya megkritik/menasihati Darto di lobi, ruangan umum yang bisa diakses siapa saja yang tentunya berpotensi mengumbar aib si Darto. Itu baru bicara tempatnya saja, belum metode atau cara saya mengkritik, timing-nya dan juga momentumnya.
Intinya, semakin banyak elemen screening dalam paramater pener ini kita pakai, Insha Allah akan semaki baik!
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H