Kisah nyata yang dialami Nano dan Nina (tentu bukan nama sebenarnya) ini, awalnya murni urusan pribadi dan keluarga masing-masing, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, apalagi harus berurusan dengan tim personalia di HRD, tapi karena kinerja Nano dan Nina pasca bercerai yang sama-sama drop, akhirnya mau-tidak mau semua jajaran di departemen masing-masing sampai personalia semuanya umpat manggaduhi (idiom bhs banjar ; ikut mengurusi).Â
Nano dan Nina bekerja di pabrik yang sama, hanya beda departemen. Menurut data manual di ordner file masing-masing yang ada di ruangan saya di personalia, keduanya berasal dari kampung yang sama, bahkan sekolahnyapun dari SD sampai SMA juga sama, hanya jurusan dan tempat kuliahnya saja yang berbeda. Uniknya, TMK alias tanggal masuk kerja mereka di pabrik hanya berselisih satu bulan, Nano masuk duluan baru sebulan berikutnya Nina menyusul.
Menurut pengakuan Nano saat saya panggil ke ruangan, namanya juga sekampung, mereka berdua sudah saling mengenal sejak kecil dan mulai pacaran sejak SMP kelas 3 atau kira-kira umur 15 tahunan. Jika dihitung mundur sampai mereka berdua memutuskan untuk menikah dengan masa kerja masing-masing sama-sama 3 tahun plus atau pada umur 25 tahun, artinya mereka sudah saling mengenal selama 25 tahun dan lebih dekat lagi (berpacaran) setidaknya selama 10 tahun terakhir.
Tapi kenapa nikahnya hanya bertahan 3 bulan saja? Sudah begitu, kerjaan ikut kacau pula!
Sekedar informasi, mereka berdua mengaku "kepikiran" untuk segera menikah justeru karena wacana perusahaan yang saat itu segera memberlakukan secara ketat semua prinsip dalam klausul standart mutu perusahaan yang berafiliasi ke sistem manajemen mutu ISO 9001 yang salah satunya melarang pernikahan antar sesama karyawan. Waduuuuuh maaaak!
Jujur saya katakan, kasus Nano dan Nina ini selain sangat unik, juga menjadi ujian terberat di awal karir saya di dunia kepersonaliaan! Bagaimana tidak, saya harus bisa memisah dan memilah antara urusan pribadi dan urusan kerjaan yang jelas-jelas saling terkait dan tidak ada marka pembatasnya.
Untungnya, karena jabatannya sebagai foreman (setingkat dibawah level supervisor) mengharuskan Nano sering berkomunikasi dan berkoordinasi dengan saya, khusunya terkait anak buahnya yang suka bandel.  Jadi, Nano-nya sendiri relatif terbiasa berdialog dengan saya, hingga paham betul visi saya dalam urusan pekerjaan.
Dengan begitu Nano juga lebih leluasa, memilih dan memilah fakta data yang perlu dan tidak perlu diceritakan kepada saya ketika saya ajak untuk diskusi terkait indikasi menurunnya kinerja dia dan juga mantan istrinya, pasca drama perceraiannya yang menjadi buah bibir dimana-mana (saat itu akhir 90-an, belum ada medsos, jadi belum ada istilah viral dan kawan-kawannya!).
Baca Juga : Â Tradisi Poligami dan Kawin "Badadiaman" dalam Budaya Masyarakat Banjar
Nano lebih banyak diam dalam diskusi di ruangan saya itu. Endingnya, selain meminta maaf untuk kenerjanya yang terpantau kurang baik oleh manajemen, Nano juga mengatakan "dasar jodohnya sudah sampai Pak!"