Bahkan, di Pulau terbesar diantara empat pulau lain di wilayah Keabupaten Sabu Raijua ini masih terpelihara tradisi cerita lisan yang berlaku secara turun temurun yang mengisahkan kekuasaan raja Majapahit yang sampai di Pulau Sabu yang diperkirakan terjadi pada abad ke-14 hingga awal abad ke-16.Â
Bahkan, masyarakat Raijua meyakini Mahapatih Gajah Mada merupakan leluhur atau nenek moyang mereka. Terlebih masyarakat adat yang masih hidup dalam perkampungan adat (darra Rae) yang masih kuat memegang adat dan yang diwariskan para leluhur.
Selain sebutan atau panggilan nama laki-laki Niki Maja, nama orang di Pulau Raijua juga unik dan menunjukkan adanya keterkaitan fonetis dengan Gajah Mada yang dikenal masyarakat sebagai Maja, seperti nama Raja, Mojo, Gaja, Medo, Ratu atau Mada.
Tidak hanya itu, disini juga ada peninggalan keris maja, jubah/baju perang maja, tombak maja, tempat duduk maja, rumah maja, perahu maja, sawah maja dan banyak lagi lainnya yang diyakini masyarakat sebagai peninggalan Gajah Mada yang telah terpelihara beratus ratus tahun dan diwariskan secara turun temurun.Â
Selain warisan cerita lisan, memang banyak artefak warisan bersejarah di Pulau Raijua yang diklaim masyarakat setempat merupakan peninggalan Gajah Mada, seperti batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut Wowadu Maja (secara fonetis mirip dengan bahasa Jawa, watu maja yang artinya juga sama, batu maja) dan sebuah Sumur Maja di Daihuli dekat Ketita, ada juga perayaan adat seperti Hidu badda maja (tangkap hewan maja), pehere jara maja (pacuan kuda), nuni kowa maja (menurunkan perahu maja ke laut)
Dari pakaian adat di Pulau Raijua dan Pulau Sabu yang mempunyai warna dasar merah dan putih seperti bendera Indonesia, ternyata juga diyakini berasal dari "warna" bekal Gajah Mada saat mempersatukan nusantara, berupa gula merah dan daging kelapa yang berwarna putih yang saat ini dimanifestasikan masyarakat ke dalam salah satu kuliner khas masyarakat Sabu dan Raijua bernama Wo PeragguÂ
Wo Peraggu adalah makanan yang terbuat dari kelapa yang dicampur gula merah lalu di goreng hingga kering. Makanan yang biasa menjadi bekal masyarakat Sabu dan Raijua berkelana ini, bisa tahan lama dan tidak akan mudah basi, sehingga tetap bisa dimakan selama berhari hari dalam perjalanan.Â
Sedangkan dari beberapa cerita lisan masyarakat juga didapati kisah Raja Majapahit yang sangat dihormati oleh masyarakat Pulau Sabu dan Raijua, bahkan raja dan istrinya konon tidak saja pernah singgah tapi juga pernah tinggal di Ketita Pulau Raijua dan Pulau Sabu.
Selain itu, jejak Majapahit juga bisa ditemukan pada keberadaan sebuah desa bernama Tana Jawa, uniknya penduduk desa ini memiliki karakter dan ciri-ciri seperti orang Jawa, begitu juga dengan kampung Mulie, didekat pelabuhan Mesara yang secara fonetis identik dengan bahasa Jawa mulih atau mulihe yang berarti pulang atau pulangnya.
Selain itu, di Raijua juga ada Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut cerita adalah keturunan orang-orang Majapahit. Udu merupakan sub rumpun dari rumpun keluarga yang terikat pada komplek lokasi pemukiman tertentu (genelogis-teritorial), sebagai konsekuensi dari pembagian wilayah kekuasaan berdasarkan jumlah anak/keturunan pada masa Wai Waka (generasi ke 18).
Terlepas dari klaim sosok Gajah Mada, Sang Mahapatih Majapahit sebagai leluhur masyarakat Niki Maja di Pulau Raijua dan juga teori asal-usul masyarakat Sabu Raijua yang diklaim dari India, Setidaknya, keberadaan Jejak India dan Majapahit di pulau Sabu dan sekitarnya ini, semakin memperkuat dugaan adanya jaringan perdagangan Trans-Asiatic kuno di wilayah Nusa Tenggara.Â