Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Anal Swab Diklaim Lebih Akurat, Akankah Indonesia Memberlakukannya?

1 Februari 2021   14:38 Diperbarui: 1 Februari 2021   14:54 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu melepas celana, berbaring, kemudian Anda bisa merasakan penyeka kapas dimasukkan ke dalam anus dua kali, yang memakan waktu sekitar 10 detik." 

(Warga Kota Tangshan kepada Beijing News)

"Tidak menyakitkan, tapi rasa malu yang luar biasa!"

(Douyacai, mahasiswa Cina , dua kali mengalami anal swab)

Fakta Anal Swab di China

Ditengah hiruk pikuk masyarakat dunia merespon dan menyikapi dinamika pandemi Covid-19, sepertinya kita akan terus disuguhi oleh beragam fragmentasi kehidupan baru sebagai bentuk inovasi dan juga adaptasi terhadap segala bentuk pembatasan dan keterbatasan akibat pandemi, termasuk beragam "drama" dari dunia medis, ujung tombak dari upaya menghalau covid-19 sejauh dan sesegera mungkin.

Terbaru, dari negeri asal mula virus Covid-19 alias negeri Cina, tersiar kabar yang menjadi viral sekaligus menjadi gunjingan di media sosial, tidak hanya dikalangan warga Cina Sendiri, tapi juga masyarakat internasional, yaitu kontroversi penggunaan metode anal swab oleh para dokter rumah sakit di Kota Beijing, Kota Qingdao, dan Kota Yangzhou untuk mendeteksi virus Corona pada pasien.

Baca Juga :  Diam-diam Terinfeksi Covid 19, Diam-diam Juga Virus Mutasinya Melakukan Reinfeksi!

Para dokter, termasuk di Beijing You'an Hospital, meyakini metode anal swab lebih akurat untuk mendeteksi virus Corona dibanding metode lainnya yang lebih dulu populer seperti antibodi swab, antigen swab dan PCR (polymerase chain reaction).

Menurut Lu Hongzhou, Direktur Pusat Kesehatan Masyarakat dari Universitas Fudan, Shanghai, pengambilan sampel melalui lubang anus atau anal swab  jauh lebih akurat daripada metode swab lainnya yang mengambil sampel lendir dari tenggorokan atau hidung, karena para ilmuwan mendapati bahwa virus di hidung dan tenggorokan lebih cepat hilang daripada di anus. Sebab itu, banyak ditemukan kasus Covid-19 tanpa gejala.

Lebih detail, Associate Director Beijing You'an Hospital, Dr. Li Tongzeng  menuturkan, bahwa metode swab anal memang tidak "senyaman" swab di tenggorokan karena harus membuka area pribadi. Metode ini hanya digunakan secara terbatas untuk orang-orang bersiko tinggi di area karantina Covid-19 sebagai upaya untuk mengurangi hasil tes positif palsu".

Kurang lebih sama dengan penjelasan Lu Hongzhou, Direktur Pusat Kesehatan Masyarakat dari Universitas Fudan, Shanghai, Li Tongzeng juga menyebutkan, jika virus Corona bisa bertahan lebih lama di saluran pencernaan atau kotoran mereka daripada di saluran pernapasan. 

Pro Kontra Kalangan Medis

Hanya saja, penerapan anal swab sepertinya tidak hanya menjadi pergunjingan di ranah media sosial saja. Faktanya beberapa ahli medis negeri Cina  juga tercatat mempertanyakan kebijakan tersebut, terutama dalam hal keakuratan hasil tes dan efisiensinya, salah satunya adalah Dr. Yang Zhanqiu, wakil direktur departemen biologi patogen di Universitas Wuhan.
 
Menurut  Dr. Yang Zhanqiu, "Ada kasus-kasus tentang tes positif virus corona pada kotoran pasien, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa itu ditularkan melalui sistem pencernaan seseorang,"

Lebih lanjut menurut Dr. Yang, swab hidung dan tenggorokan tetap menjadi tes yang paling efisien karena virus terbukti tertular melalui saluran pernapasan bagian atas daripada sistem pencernaan dan faktanya, sampai detik ini, para penyintas COVID-19 di Cina yang menjalani anal swab tetap wajib menjalani tes darah, swab hidung dan juga swab tenggorokan, terlebih bagi mereka yang datang dari luar negeri.

Baca Juga  :  Fenomena Covidpreneur dan Tema-tema Adaptatif yang Akan Mewarnai Tren 2021

Sementara itu dari beberapa media dan media sosial penyintas covid-19 di negeri Cina yang telah melakukan tes anal swab, didapatkan beberapa unggahan "pengalaman mereka" saat menjalani aktifitas anal swab.

Dari media Beijing News, seorang warga yang telah menjalani anal swab mengatakan "Kamu melepas celana, berbaring, kemudian Anda bisa merasakan penyeka kapas dimasukkan ke dalam anus dua kali, yang memakan waktu sekitar 10 detik." 

Selain itu ada Douyacai, mahasiswa yang baru saja tiba dari Korea Selatan dan melakukan anal swab di Beijing pada hari ke-14 karantina. menurutnya "Hanya rasa malu yang tak ada habisnya. Tidak ada perasaan lain. Semoga beruntung".

Ada juga Winny, pelajar dari Australia yang mengaku menjalani tes anal swab, saat berada di karantina di kota Guangzhou pada hari ke-12 masa karantina, meskipun dia juga tetap menjalani tes swab mulut. Menariknya, Winny juga mengajak semua pihak untuk bekerja sama dengan staf medis dalam pemberlakuan anal swab tersebut.


Bagaimana Indonesia?

Sejauh ini memang belum ada respon dan tanggapan dari instansi berwenang, terkait fenomena pemberlakuan anal swab untuk melengkapi diagnosa covid-19 yang tengah menjadi sorotan publik di negeri Cina, termasuk kemungkinan penerapannya di Indonesia, kecuali tanggapan dari ahli biologi molekular Ahmad Rusdan Utomo.

Menurutnya, tes anal swab tidak bisa menjadi acuan dan hanya sebagai pelengkap deteksi COVID-19 yang sudah ada seperti Rapid Antibodi, Antigen dan PCR.

Menurutnya, deteksi Covid-19 menggunakan metode swab dari saluran pernapasan hidung dan tenggorokan lebih efektif mendeteksi virus COVID-19 hingga 70 persen, sementara dengan feses kemungkinan hanya separuhnya. Metode anal swab hanya dapat dilakukan di saat dokter menemukan gejala COVID-19, namun dinyatakan negatif saat melakukan PCR.

Memang, anal swab relatif lebih tidak sakit dibanding nasofaring swab, tapi Ahmad Rusdan Utomo mengaku tidak yakin banyak yang memilih anal swab dibanding nasofaring. Alasanya sudah pasti terkait dengan proses anal swab-nya sendiri yang mengharuskan pasien "membuka area paling private". 

Baca Juga  :  Mewaspadai Virus Nipah, Belum Ada Obatnya dan Berpotensi Memicu Pandemi Baru

Apalagi, seperti kita pahami bersama, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tentu akan berpikir dan menimbang berkali-kali untuk membuka area private yang biasa disebut sebagai bagian dari aurat tersebut, apalagi untuk perempuan yang tentunya sangat rawan memicu terjadinya pelecehan seksual. 

Bagaimana menurut anda, perlukah Indonesia memberlakukannya?

Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun