Idealnya sih, tes buta warna dilakukan jauh-jauh hari sebelum memilih sekolah/kampus idaman. Sejak dini, sejak anak-anak bisa mengenal angka, huruf dan tentunya warna yang menjadi elemen alat tes buta warna yang biasa disebut sebagai Ishihara Plate atau piring Ishihara, tentu bagus lagi!
Memang sudah seharusnya, saya, anda atau siapa saja berkepentingan untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit. Bahkan, mendiang Presiden Soekarno juga pernah mengatakan dalam pidatonya, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."
Menggantungkan cita-cita setinggi langit tentu diawali dengan mendefinisikan cita-cita atau menentukan cita-citanya secara riil terlebih dahulu yang secara keseluruhan sangat bermanfaat untuk membantu memetakan road map masa depan yang harus dilalui berikut berbagai persiapan dan perlengkapan yang dibutuhkan.
Di era sekarang, salah satu road map yang ikut menentukan keberhasilan mencapai cita-cita adalah kesesuaian/relevansi pilihan sekolah dengan cita-cita yang dipilih.
Misalkan saya ingin menjadi dokter, maka setidaknya (minimal) sejak SMA, saya sudah harus memulai roadmap-nya dengan memilih masuk jurusan IPA, bukan IPS atau yang lainnya, karena di SMA hanya jurusan IPA yang mempunyai relevansi/kesesuaian dengan cita-cita saya menjadi dokter, begitu juga jurusan kuliah yang dipilih setelah lulus SMA, ya harus fakulltas kedokteran, bukan fakultas pertanian! Begitu kira-kira memetakannya secara sederhana.
Sayangnya, di Indonesia kesesuaian atau relevansi pilihan jurusan sekolah dengan cita-cita yang ingin diraih ini belum bisa sepenuhnya diberlakukan, karena sampai saat ini masih ada informasi yang terputus, masih ada satu lubang bermasalah yang sepertinya terlupakan dalam sistem informasi pendidikan-sosial di Indonesia, terutama pada momen konseling penentuan jurusan sekolah saat duduk dibangku SMA, yaitu tidak adanya tes buta warna (sejak dini).
Memang ada apa dengan tes buta warna (sejak dini)? Apa manfaatnya?
Fakta Penyintas Buta Warna
Pengalaman saya waktu penjurusan di SMA tahun 90-an, hanya dibekali test psikologi untuk mengetahui minat siswa, tapi tidak dilengkapi dengan tes buta warna. Hasilnya memang benar tapi menyesatkan!
Saran dan rekomendasi dari tim psikologi yang tentunya didasarkan pada hasil tes psikologi dan hasil wawancara singkat, menyarankan saya memilih jurusan A1 (Fisika) atau A2 (Biologi) dan karena cita-cita saya ingin melanjutkan ke Fakultas Kedokteran, maka saya disarankan memilih jurusan yang konon mempunyai relevansi paling dekat, yaitu jurusan A2 atau Biologi. Sampai disini, semua OK!
Baca Juga : Memasyarakatkan, Pentingnya Tes Buta Warna Sejak Dini
Alhamdulillah, perjalanan saya mengarungi bahtera bersama jurusan A2 (Biologi) berjalan lancar, bahkan ending-nya sangat memuaskan. Dari kelas penjurusan yang dimulai sejak naik ke kelas 2, semuanya lancar dan bisa saya katakan sebagai tahun-tahun excelent saya! Saya lulus dengan hasil memuaskan, bahkan saya juga diterima di tempat yang saya cita-citakan sejak kecil, yaitu fakultas kedokteran.
Coba Tebak, Siapa Tokoh dalam Piring Ishihara Hasil Inovasi Terbaru dari Optiacl Express | intisari.grid.id/optical express
Sayangnya, saat daftar ulang yang di bagian akhirnya menharuskan semua calon mahasiswa melakukan tes kesehatan, saya dinyatakan buta warna dan dinyatakan tidak bisa melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran. Menurut anda apa yang saya rasakan saat itu?
Coba bayangkan, cita-cita yang sudah saya bangun dan saya juga orang tua dan orang-orang terkasih disekitar saya perjuangkan sepenuh hati sejak lama, mimpi indah yang bara spiritnya selalu saya jaga di sepanjang waktu, saat itu harus saya akhiri justru ketika sebelah kaki saya sudah menapaknya.
Terlebih lagi, semuanya harus berakhir oleh sebab musabab yang saat itu, saya sendiri tidak begitu memahami hal ihwal-nya….buta warna!
Saya yakin, anda semua bisa membayangkan apa yang pernah saya dan tentunya keluarga saya rasakan waktu itu!? Bukan hanya perasaan dan uang yang telah dikorbankan, tapi juga “waktu”. Tidak mungkin waktu diputar kembali agar saya bisa merevisi “cita-cita” baru! Sementara untuk berpindah haluan kepada cita-cita yang lain, tentu juga bukan tanpa risiko dan pasti bukan perkara yang mudah!
Saat itu, saya telah “salah” memilih cita-cita! Karena takdir sebagai penyintas kelainan buta warna yang sama sekali tidak saya sadari dan ketahui sebelumnya, plus ketiadaan akses informasi terkait "buta warna" yang berakibat pada ketiadaan akses perencanaan dan pemetaan potensi untuk pendidikan anak-anak Indonesia sejak dini, khususnya tes buta warna, mengharuskan saya berlapang dada menerima anjuran pihak universitas untuk memilih fakultas non eksak, yaitu Fakultas Ekonomi jurusan manajemen yang sebelumnya sama sekali tidak terlitas dipikiran!
Seandaianya, saat penjurusan di SMA atau bagus lagi lebih dini saat di level SD atau SMP juga dilengkapi tes buta warna dan saya terbukti sebagai salah satu penyintasnya, tentu saya sadar diri dan pasti tidak akan memaksakan diri untuk "membangun cita-cita menjadi dokter sejak kecil", apalagi memilih jurusan A2 saat SMA, terlebih memilih fakultas kedokteran sebagai tambatan cita-cita!
Sehingga energi yang ada selama itu bisa disalurkan lebih efektif untuk membangun harapan dan cita-cita lain yang sesuai dengan statusnya sebagai penyintas buta warna, dengan begitu kerugian material maupun nonmaterial bisa dihindari sejak dini pula.
Inilah relevansi perlunya tes buta warna sejak dini di Indonesia!
Perlunya Tes Buta Warna Sejak Dini!
Sistem pendidikan-sosial di Indonesia belum memberikan akses tes buta warna sejak dini yang sebenarnya sangat bermanfaat. Bagi orang tua si-anak, hasil tes buta warna sangat membantu dalam hal perencanaan pendidikan jangka panjang, sekaligus mengarahkan cita-cita anak agar sesuai dengan kondisi faktual yang dimilki oleh si anak.
Sedangkan bagi pemerintah, hasil tes buta warna bisa berguna sebagai dasar pemetaan potensi anak-anak Indonesia, sekaligus untuk menyusun blueprint jangka panjang manajemen sumber daya manusia Indonesia, generasi penerus yang kelak pasti akan menerima estafet kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang dengan cara yang lebih efektif dan efisien,
Apalagi, status “tidak buta warna” menjadi syarat mutlak yang tidak bisa diganggu gugat untuk bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi berbasis ilmu eksakta, juga untuk berkarir di kemiliteran dan semua pendidikan kedinasan milik pemerintah seperti STAN, STPDN dll. Nah lhooooooo!
Sekali lagi, coba bayangkan! Seandainya tiap tahun di Indonesia ada 1.000 saja generasi emas bangsa ini yang bernasib sama saya, salah memilih cita-cita karena buta warna, tentu bangsa Indonesia telah rugi besar, kehilangan banyak energi generasi emas, generasi potensial yang seharusnya bisa diberdayakan dengan benar secara lebih efektif dan efisien.
Baca Juga : Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)
Selanjutnya, saya menyarankan kepada para orang tua dan lembaga pendidikan, agar sesegara mungkin mengawali perencanaan pendidikan anak-anak ( terutama laki-laki, karena anak perempuan umumnya sebatas carrier atau pembawa sifat buta warna) dengan tes buta warna, sebelum menentukan pilihan jurusan ataupun lembaga sekolah/kuliah yang akan dijadikan tempat berlabuh untuk menimba ilmu. Prinsipnya, dilakukan lebih dini lebih baik!
Di jaman yang serba digital seperti saat ini, sangat mudah untuk mengakses test buta warna digital. Tes buta warna mandiri boleh saja dilakukan untuk sekedar mengetahui statusnya, buta warna atau normal. Hanya saja khusus bagi penyintas buta warna parsial, jika ingin ingin di breakdown lagi untuk mengetahui parsialnya di warna apa, sepertinya tetap harus ke dokter mata ya!
Intinya, jangan sampai ada lagi anak-anak kita yang salah memilih cita-cita, biarlah kisah dulu yang sempat bikin sakit hati, juga rugi waktu, biaya dan tentunya kesempatan, menjadi pelajaran berharga buat kita semua, buat kebaikan anak cucu kita semua!
Ingat ya, tes buta warna dulu sebelum memilih sekolah atau kampus idamanmu!
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H