Seperti layaknya masjid agung lain di Pulau Jawa yang menjadi simbol keagungan pemerintahan, lokasi Masjid Agung Sumedang yang berada di lingkungan Kaum RW.10, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatam Sumedang Selatan ini juga tepat di sebelah barat alun-alun kota dan berdekatan dengan  pusat pemerintahan/kraton, penjara dan fasilitas umum lainnya, tepat di Jantung Kota Sumedang.
Tidak heran jika masjid yang berlatar belakang view perbukitan hijau yang menyegarkan ini selalu ramai oleh aktifitas umat, tidak hanya di jam-jam sholat lima waktu saja, tapi hampir setiap waktu pengunjung tidak pernah sepi, termasuk di masa pandemi Covid-19 saat ini. Hanya saja, ketatnya protokol kesehatan tetap memaksa pengunjung untuk terus mematuhi semua ketentuan. Â
Sisi unik Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang adalah desain arsitekturnya yang memadukan beberapa kearifan budaya berbeda, Islam, Tionghoa dan Eropa (Belanda).
Fakta ini tidak terlepas dari keterlibatan langsung para perantau dari negeri Cina dalam pembuatan bangunan masjid. Para perantau yang datang langsung dari negeri China ke Sumedang yang kelak juga mempopulerkan kuliner tahu yang sekarang menjadi ikon Sumedang. Sedangkan pengaruh Belanda (Eropa) sangat memungkinkan, karena masjid-masjid kuno nusantara, termasuk Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang ini dibangun saat pendudukan dan penjajahan kompeni di nusantara.
Pengaruh budaya Tionghoa, konon  bisa dilihat dari bentuk atap Masjid yang bersusun tiga makin keatas semakin kecil/meruncing, mirip bangunan pagoda, kelenteng atau vihara yang tingkatan paling atas berbentuk limas disebut mamale. Juga ornamen ukiran di bagian atas kusen pintu dan jendela.
Atap berundak yang biasa disebut meru ini secara umum memang menjadi cirikhas masjid-masjid kuno di seluruh nusantara yang sebenarnya merupakan domain kebudayaan Hindu-Buddha sebagai manifestasi bangunan suci tempat para dewa. Fakta diadopsinya bentuk meru untuk masjid, selain terkait faktor teknis sirkulasi udara dan air hujan, bisa jadi memang bagian dari strategi dakwah untuk menghindari munculnya kekagetan budaya atau cultural shock sehingga bisa merangkul masyarakat sekitar yang saat itu kemungkinan besar mayoritas pemeluk Buddha dan Hindu.
Pembeda Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang dengan masjid kuno lainnya yang paling mudah dilihat dari jarak jauh sekalipun adalah keberadaan mustaka atau hiasan berbentuk mirip mahkota binokasih milik raja-raja di masa lampau yang bertengger di puncak limas atau mamale.
Sedangkan pengaruh Belanda (Eropa) tampak pada beberapa bagian desain masjid. seperti keberadaan selasar/teras keliling, dinding sangat tebal, Â 14 (empat belas) tiang artistik bergaya abad 19 Â berdiameter sekitar 1 meter yang konon dibangun dari susunan batu-bata dan cukup tinggi menyangga atap masjid, begitu juga dengan 20 (dua puluh) jendela berukuran besar setinggi 4 m dan lebar 1,5 m yang tersebar merata di dinding-dinding masjid, menjadikan ruangan masjid tetap sejuk dan nyaman untuk beribadah meskipun cuaca diluar relatif cukup terik.