Secara logika, ini jelas ada hubungannya dengan proses pembentukan referensi rasa dalam memori di otak kita yang kelak melahirkan konsep selera pada masing-masing individu yang ditanamkan oleh ibu secara kontinyu melalui citarasa masakan yang dibuatnya dengan balutan curahan kasih sayang selama bertahun-tahun.
Seperti diungkapkan oleh psikolog asal Inggris,  Christy Fergusson, dimana  persepsi emosional akan sebuah rasa dapat  ditingkatkan oleh faktor waktu, cinta dan rasa peduli terhadap sebuah masakan.  Sedangkan kekuatan intuisi akan berpengaruh besar pada persepsi orang-orang dalam menikmati sebuah masakan.
Maknanya, masakan ibu yang dibuat dengan penuh cinta dan kasih sayang untuk memberikan asupan yang cukup bagi keluarganya, pasti akan menghasilkan citarasa yang lebih nikmat dan lezat. Selain itu, secara faktual sudah pasti seorang ibu juga akan membuat masakan dari bahan-bahan yang terbaik, atau setidaknya sehat, bersih dan higienis.
Sementara itu, secara ilmiah menurut jurnal terbitan Indiana Public Media, enzim amilase yang berperan dalam mengkatalisis karbohidrat kompleks berupa amilum menjadi karbohidrat yang lebih sederhana, merupakan aktor utama adanya kecenderungan seorang anak yang menyukai apa saja masakan ibunya.
Uniknya, perbedaan level amilase pada masing-masing orang, merupakan penyebab berbedanya persepsi rasa pada makanan yang dikunyah oleh masing-masing orang, meskipun makanannya sama. Â Satu bilang enak, satu bilang biasa saja dan bisa jadi satunya lagi bilang tidak enak!
Hebatnya, Tuhan telah menakdirkan, level amilase pada anak punya kecenderungan sama dengan level amilase ibunya, sehingga keduanya sangat memungkinkan mempunyai "frekwensi" selera kuliner yang sama, sehingga akhirnya muncul banyak klaim dari anak-anak bahwa "masakan ibu itu paling enak!"
Intinya, faktor ibu menjadi titik sentral, menjadi sosok penting dalam proses tumbuh kembang fisik dan psikhis anak-anaknya, karena memang ibulah sosok gudang ilmu, pusat peradaban, sekaligus wadah yang menghimpun sifat-sifat akhlak mulia, karenanya tidak berlebihan jika ibu mendapatkan kehormatan sebagai "sekolah pertama dan utama" bagi kita, anak-anaknya!
"Ibu Sekolah Pertama dan Utama Kita"
Ungkapan "Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya" yang selama ini kita kenal, merupakan bentuk serapan dari syair Arab yang dipopulerkan oleh pujangga Hafiz Ibrahim yang secara utuh berbunyi "Al-Ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq" dan mempunyai makna, Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.Â
Syair ungkapan ini mempunyai relevansi dengan kutipan populer dari James Esdras Faust, seorang  pemuka agama, pengacara, dan politikus kelahiran Utah-Amerika Serikat, The influence of a mother in the lives of her children is beyond calculation yang bisa dimaknai sebagai  betapa besar pengaruh seorang ibu terhadap kehidupan anak-anaknya.
Dua ungkapan diatas, secara faktual memang layaknya simpul dari sekian banyak teori yang berusaha mengangkat citra atapun bentuk penghormatan kepada sosok seorang ibu. Peran strategis sebagai "sekolah pertama" seorang anak, secara otomatis menjadikan beliau salah satu influencer terkuat dan berpengaruh dalam membentuk sekaligus menumbuhkan tumbuh kembang fisik dan psikis seorang anak.Â