Jika anda pernah melintas di jalur trans Kalimantan yang menghubungkan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas dengan Kota Batulicin-Tanah Bumbu, Pulau Laut-Kotabaru dan juga Kota Penajam-Paser Utara, Kalimantan Timur, sekitar 2 (dua) km sebelum tugu Kijang Kencana batas Kota Banjarbaru-Tanah Laut, tepatnya di Kelurahan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, ada sebuah warung makan berhalaman sangat luas berdiri di sisi sebelah kanan jalan dengan nama "Bebek Hungang" atau lengkapnya Nasi Bebek Liang Anggang (NABELA) "BEBEK HUNGANG".
Tapi maaf, kali ini bukan kuliner nasi bebek dari "BEBEK HUNGANG" yang akan saya kupas dan jlentrehkan! Tapi soal nama "BEBEK HUNGANG" itu yang menarik perhatian saya.
Baca Juga:Â Mengenal Teknik "Babanam", Barbeque Tradisional ala Urang Banjar
Awalnya, saya mengira kosakata hungang dalam frasa "BEBEK HUNGANG" yang menjadi label warung makan tersebut berasal dari bahasa mandarin, karena menurut saya kosakata hungang mempunyai kedekatan lafal dengan beragam kosakata bahasa mandarin. Tapi, dugaan saya ternyata salah besar! Alih-alih mengadopsi dari bahasa mandarin, ternyata kosakata hungang justeru kosakata asli dari bahasa Banjar.
Merujuk pada kamus Bahasa Banjar Gubahan Prof. Abdul Djebar Hapip, Guru Besar FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, terbitan PT. Grafika Wangi Kalimantan, Cetakan ke-6 Tahun 2006, kosakata hungang ternyata berarti bodoh.
Mendapati fakta ini, saya justeru semakin tertarik untuk mencari tahu dan mendalami kosakata Bahasa Banjar yang satu ini, karena sebelumnya saya justeru lebih dulu mengenal kosakata bungul sebagai padan kata bodoh atau kosakata bermakna setara lainnya  seperti  tolol, bego, telmi dan lain-lainnya dalam bahasa Banjar.Â
Kenapa dalam bahasa Banjar sering ditemukan kosakata dengan bunyi dan pelafalan berbeda tapi bisa mempunyai makna sama?
Sebelumnya, dalam artikel berjudul Mengenal Teknik "Babanam", Barbeque Tradisional ala Urang Banjar saya ungkap disitu, keberadaan kosakata babanam dan baubar yang jelas-jelas berbeda penulisan dan juga pelafalannya, tapi uniknya secara leksikal sama-sama berarti bebakar atau bisa juga dimaknai sebagai sedang membakar. Ini uniknya!
Bahkan khusus untuk kosakata yang bermakna bodoh, dari kamus Bahasa Banjar Gubahan Prof. Abdul Djebar Hapip setidaknya ditemukan 4 (empat) kosakata Bahasa Banjar yang mempunyai makna identik, termasuk kata bungul seperti yang saya sebutkan diatas, yaitu bengang, hungang dan tambuk.
Itu baru kosakata yang secara resmi diakui sebagai bagian dari Bahasa Banjar saja, sedangkan kosakata semakna yang sudah sering menjadi bagian dari kekayaan verbal masyarakat tapi tidak atau belum masuk dalam kamus Bahasa Banjar,  jumlahnya lebih banyak lagi dan sepertinya akan terus berkembang. Termasuk didalamnya kosakata yang masuk dalam kamus Bahasa Banjar, tapi arti dan maknanya dalam penjelasan tidak secara tegas menyebut bodoh, bego, atau makna setara lainnya, meskipun secara massal juga terlanjur dimaknai sebagai bagian dari padan kata bodoh,  seperti kosakata bebal/buntat, bontok dll.
Uniknya, selain sebagai bagian dari bentuk ekspresi, ternyata banyaknya kosakata bermakna bodoh dalam Bahasa Banjar ini juga berfungsi sebagai "stratifikasi"alias leveling atau pemberian tingkat kadar kebodohan  menurut persepsi dari yang menyambat (mengatakan;Bhs Banjar). Ini jelas berbeda dengan beragam kosakata bermakna setara dengan bodoh dalam bahasa Indonesia, seperti tolol, bego, telmi, goblok dan lain-lainnya.
Unik juga ya! Selain mengenal level "kepintaran" yang setidaknya secara sederhana bisa kita stratifikasi melalui level pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, Sarjana, Magister, Doktoral sampai profesor, (maksudnya, anak SD seharusnya lebih pintar dari anak TK, begitu seterusnya!) di sisi lain Urang Banjar juga menawarkan bentuk stratifikasi pada obyek antonim-nya, level "kebodohan" dari level terendah atau paling ringan sampai yang kelas berat, yaitu melalui rangkaian kosakata bengang, hungang, bungul, tambuk dan bungul tambuk sebagai pambungsunya (leksikal: anak bungsu, gramatikal : level paling akhir/dasar) sekaligus sebagai pemilik "kadar" kebodohan tertinggi.
He...he...he...ngeri-ngeri sedap ya! Tapi sangat masuk akal dan inspiratif lho, kalau direnungkan sebenarnya dari sini Urang Banjar tidak hanya mengajak kita untuk realistis sekaligus menyadari bahwa untuk kita sebagai manusia, tidak hanya pasti ada langit diatas langit saja, tapi juga pasti ada tanah dibawah tanah!
Maksudnya, kita tidak usah terlalu menepuk dada, berbangga diri ketika kita sedang diatas atau dianugerahi kepintaran, karena ada banyak lagi yang berada di atas kita, atau bisa lebih pintar dari kita. Tentunya ini agar kita tidak terus-menerus memandang keatas, sehingga termotivasi untuk terus rendah hati sekaligus bersemangat untuk terus belajar.Â
Begitupun sebaliknya! Kita jangan terlalu meratapi ketika posisi kita sedang di fase bawah atau kebetulan dianggap bungul, karena ada banyak lagi yang berada dibawah kita, sehingga tetap termotivasi untuk berbesar hati atas anugerah Illahi dan terus semangat untuk belajar lagi, lagi dan lagi.
Semoga manfaat
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H