Apabila dibanding kuning telur itik kandang, diyakini masyarakat Banjar mempunyai kandungan gizi sangat tinggi dan bagus untuk dikonsumsi.
Baca Juga: Menikmati Musik Panting & Soto Banjar di Tepian Sungai Martapura Banjarmasin
Mulai sekadar direbus atau didadar untuk lauk makan, membuat beraneka masakan khas Banjar seperti lontong tampusing, pundut nasi, masak habang, nasi kuning, sop/soto Banjar, Katupat Batumis sampai untuk membuat baragam wadai atau kue khas Banjar bercitarasa legit seperti bingka kentang, bingka barandam, kalamben, maksubah, kue lam dan lain-lain. Apalagi untuk membuat hintalu jaruk bakarangan atau telur asin yang masir khas Banjar, semuanya lebih mantap jika menggunakan hintalu tambak.
Intinya, "maulah apa haja, amun handak manyamani, pakai ja hintalu tambak!"Â (membuat apa saja, kalau ingin enak, pakai saja telur itik tambak)
Jadi jangan heran, jika Anda sempat berkunjung ke Kota 1000 Sungai dan tengah menikmati beragam kuliner seperti tersebut diatas, di kedai, warung atau rumah makan, selalu mendengar pertanyaan "Ini hintalunya tambakkah?"Â atau "Ini tambakkah?"Â dari pembeli setiap kali akan membeli produk kuliner tersebut.Â
Produk hintalu tambak yang paling terkenal di seputar Kota 1000 Sungai adalah hintalu tambak dari daerah Aluh-Aluh, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Banjar yang terletak di tepian laut Jawa.
Sayangnya, hintalu tambak dari Aluh-Aluh dengan labelnya sebagai produk pangan yang menguasai hajat hidup Urang Banjar, sekarang relatif langka di pasaran. Kalaupun ada harganya juga tergolong mahal dibanding dengan harga telur itik pada umumnya.
Hal ini dikarenakan beternak itik (tambak) hanyalah aktivitas ekonomi sampingan bagi masyarakat di Aluh-Aluh, selain menjadi nelayan dan petani yang menjadi profesi utama.Â
Baca Juga: Menikmati Kesegaran "Bingka Barandam", Kue Berkuah nan Unik Khas Kalimantan Selatan
Biasanya, masyarakat akan memelihara itik dengan cara balapasan atau dilepas liarkan secara musiman saja, yaitu mulai saat musim panen sampai menjelang musim tanam (sawah berupa rawa lebak di Kalimantan Selatan hanya bisa melakukan satu sampai dua kali tanam saja dalam setahun) atau sekitar lima sampai enam bulan saja, setelah itu itik-itik akan dijual lagi.
Selain itu, semakin sulitnya mendapatkan pakan alami untuk itik sebagai efek domino dari menyempitnya lahan pertanian untuk menanam banih (padi dalam bahasa Banjar) akibat alih fungsi lahan dan juga karena intrusi air laut atau semakin jauhnya rembesan air laut ke daratan.