Suasana sepi Taman Kamboja di sore hari yang tidak biasa terjadi sejak resmi menjadi ruang terbuka hijau (RTH) beberapa tahun terakhir ini, secara otomatis membawa ingatan kolektif dalam otak saya untuk kembali pada masa beberapa tahun silam, ketika RTH Taman Kamboja masih berupa lahan kosong dan tampak terbengkalai tidak terawat.Â
Bahkan, meskipun berada di jantung Kota Banjarmasin, kawasan ini justeru dikenal sebagai kawasan yang angker dan menakutkan. Maklum, lahan yang sekarang menjadi lokasi Taman Kamboja  ini dulunya adalah lahan pemakaman alias pekuburan Belanda.Â
Kemungkinan besar, nama "Kamboja" yang melekat pada kawasan tersebut sampai detik ini, berasal dari nama tanaman Kamboja yang umumnya banyak tumbuh di area pemakaman, termasuk mungkin di area makam Belanda tersebut. Â
Sejarah RTH Taman Kamboja
Menurut Mansyur, sejarawan Lembaga Kajian Sejarah Sosial, dan Budaya (LKS2B) Universitas Lambung Mangkurat, berdasarkan bukti sejarah berupa temuan peta Kota Banjarmasin tahun 1916 dan 1945 yang menjadi koleksi dari Lembaga Arsip Nasional, kawasan yang sekarang menjadi RTH Kamboja pada masa lalu merupakan area pemakaman Kristen Belanda dan akhirnya berkembang menjadi pemakaman umum Kristen.
Oleh masyarakat Banjar, kawasan pemakaman ini biasa disebut sebagai krokopan, merujuk pada istilah kerkhof dari Bahasa Belanda yang berarti Makam. Sedangkan nama resmi dari komplek pekuburan Kamboja ini adalah Nieuw Kerkhof atau pemakaman baru.
Selain kerkhof-an Kamboja di Banjarmasin, ada juga beberapa kerkhof-an lain di Kalimantan Selatan, yaitu tersebar di Kota Amuntai (Hulu Sungai Utara), Kota Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Barabai (Hulu Sungai Tengah) dan di Guntung Payung, Banjarbaru. Tapi semua kerkhof-an tersebut sekarang sudah tidak ada lagi, karena sebagian besar berada di tengah kota, maka lokasinya dipindahkan sedangkan lahannya sudah dialih fungsikan menjadi sarana fasilitas umum. Ada yang menjadi komplek olahraga, terminal, asrama haji dal lain-lainnya.
Khusus untuk Nieuw Kerkhof Kamboja, wacana pembongkarannya dimulai pada era kepemimpinan Walikota Riduan Iman yang memerintah pada tahun 1971-1973, dan akan merelokasinya tida lebih dari 30 kilometer dari Kota Banjarmasin. Sedangkan realisasi pembongkaran dan proses relokasi akhirnya baru terlaksana diera kepemimpinan walikota Sadjoko yang memerintah selama dua periode atau sepuluh tahun, 1989-1999.
Proses pembongkaran dan relokasi yang dilakukan pada November 1993, berhasil memindahkan semua pusara dengan beragam arsitektur ke kawasan Pulau Beruang, di sekitar Jalan Achmad Yani Km 21, Banjarbaru. Tidak jauh dari Bandar Udara Syamsoedin Noor.Â