Sebuah ungkapan sugestif paling populer di kalangan masyarakat Banjar setelah Lafaz Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un ketika ada kabar kematian yang menurut para tetuha (orang tua/yang dituakan/pemuka agama), terinspirasi dari hadist nabi HR. Ibnu Majah no. 4259 (Hasan menurut Syaikh Al Albani).
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”
Ungkapan bertuah ini, sejak lama menjadi sugesti Urang Banjar "untuk selalu ingat mati", maksudnya menyadari bahwa malaikat maut bisa datang kapan saja! Dengan begitu diyakini bisa melembutkan hati, qana’ah, mendorong selalu husnudzan dan terpenting lebih berhati-hati dalam proses ber-muamallah (Hablumminannas maupun Hablumminallah).
Dengan begitu, selain terus berusaha dan berinisiatif untuk selalu menyegerakan/mendahulukan semua niat dan amalan baik, terutama dalam urusan ibadah seperti sholat, naik haji dan umrah (sepertinya konsep waktu ini juga yang menyebabkan antrian haji di Kalimantan Selatan menjadi yang terlama di Indonesia, lebih dari 30 tahun), Urang Banjar juga tersugesti untuk sesering dan sesegera mungkin meminta minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal sebelum ajal menjemput.
Sudah menjadi rahasia umum, bila Urang Banjar penduduk mayoritas Propinsi Kalimantan Selatan, mempunyai kedekatan historis dan budaya yang begitu kuat dengan Islam.
Bahkan saking dekat dan kuatnya, relatif susah untuk sekadar mendapatkan garis "pemisah" di antara keduanya. Ini yang mendasari sebagian besar tradisi budaya Urang Banjar banyak dipengaruhi oleh syariat Islam berikut tradisi budaya yang dibawanya.
Bahkan, kedekatan Islam dengan Urang Banjar ini, diilustrasikan dengan cantik oleh antropolog Judith Nagata, sebagai salah satu suku di Indonesia yang identitas kesukuannya bertumpang tindih dengan identitas keagamaan, "Agama ya suku, suku ya agama"
Maka tidak heran jika dalam keseharian masyarakat Banjar, sampai saat ini relatif tetap terjaga berbagai tradisi lokal nan unik yang konstruksinya dibangun dengan mengambil sekaligus memanfaatkan simbol-simbol ritual agama Islam, baik diambil sebagian maupun secara keseluruhan, termasuk panjangnya kalimat permintaan maaf di atas yang Insha Allah, selalu meluncur disaat yang tepat. Wallahu A’lamu bis Shawab.
Jadi, saya minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal ya!
Taqabbalallahu minna wa minkum
Selamat Idul Fitri 1441 H