Selain Dora yang diajaknya mengembara ke Kerajaan Medang Kamulan, Ajisaka juga memliki satu lagi asisten yang setia bernama Sembada yang diperintahnya untuk tetap tinggal di Pulau Majethi, karena harus menjaga dan merawat keris pusaka miliknya agar tidak dicuri dan jatuh ke tangan orang lain selain dirinya.
Sesampainya di Medang Kamulan, Ajisaka bersiasat dengan langsung menghadap Prabu Dewata Cengkar untuk meminta sebidang tanah selebar kain surban yang dililitkan di kepalanya, sebagai imbalan atas kesediaanya menjadi santapan sang Raja.Â
Akhirnya, Prabu Dewata Cengkat menyetujui permintaan Ajisaka. Ia mengukur tanah menggunakan kain surbannya. Anehnya, karena kesaktian Ajisaka, tanpa disadari Prabu Dewata Cengkar kain surban Ajisaka tersebut semakin lama semakin melebar hingga membuat Prabu Dewata Cengkar mundur dan terus mundur sampai akhirnya masuk jurang pantai selatan dan tewas. Sejak saat itu Ajisaka diangkat menjadi raja di Kerajaan Medangkamulan.
Setelah menjadi raja di Medang Kamulan, Ajisaka teringat dengan pusaka miliknya yang dijaga oleh Sembada di Pulau Majethi.Â
Singkat cerita, Ajisaka mengutus Dora untuk mengambilnya dari Sembada. Sesampainya di Pulau Majethi, Dora langsung menemui Sembada untuk mengambil pusaka Ajisaka, tapi Sembada yang juga sahabatnya itu tidak mau menyerahkan pusaka dimaksud, karena memegang teguh perintah tuannya, Ajisaka yang dulu mengatakan jangan berikan pusaka itu kepada siapapun selain dirinya. Sementara itu, Dora yang juga disuruh langsung oleh Ajisaka bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya adalah perintah dari Ajisaka.Â
Karena sama-sama merasa punyak hak sekaligus kewajiban yang sama untuk mengikuti perintah Ajisaka, keduanya tidak menemukan kata sepakat alias  deadlock dan memilih melanjutkannya dengan bertarung. Sayang sekali, karena sama-sama sakti, dua insan yang bersahabat ini akhirnya sama-sama tewas demi memagang amanah dari Ajisaka, tuannya.
Menyadari kelalainnya memberi perintah bertentangan kepada kedua asistennya yang sangat setia, Ajisaka menyusul ke Pulau Majethi. Tapi sayang, nasi sudah menjadi bubur! Kelalaian dan juga keterlambatannya menyadari kesalahannya, telah menyebabkan tewasnya du asisten setianya karena sama-sama berusaha menjalankan perintahnya.Â
Ajisaka pun berduka dan sangat menyesali apa yang telah dilakukannya! Salah satunya dengan menuliskan kisah dua asistennya tersebut ke dalam kalimat syair yang kelak dikenal sebagai kisah Hanacaraka atau Ajisaka dan juga susunan karakter aksara Jawa atau resminya disebut sebagai Aksara Dentawyanjana.Â
Dari kisah diatas tentu kita bisa mengambil beberapa hikmah, baik yang tersurat maupun tersirat yang masih sangat aktual dan relevan dengan peradaban milenial saat ini. Manajerial, leadership, tanggung jawab, amanah dan tentunya perihal pentingnya komunikasi efektif dan kebutuhan untuk bersilaturahmi.
Khusus untuk tema komunikasi efektif dan kebutuhan untuk bersilaturahmi, jelas sekali putus contact antara Ajisaka (dan Dora) dengan Sembada, karena tidak ada silaturahmi diantara keduanya, sejak kepergian Ajisaka ke Medang Kamulan yang bisa jadi karena jarak yang jauh, minimnya  infrastruktur, tidak ada teknologi atau mungkin karena lupa karena euforia menjadi raja serta sebab-sebab lainya yang menyebabkan tragedi saling bunuh kedua asisten setianya tersebut tidak terhindarkan.