Mendengar nama Pulau Siompu apalagi tanpa keterangan sebagai bagian dari Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara sepertinya akan banyak diantara kita yang akan menggeleng-gelengkan kepala sambil mengerutkan dahi, dilanjut dengan berucap "Dimana (letak pulau Siompu) itu?"
Kalaupun ada yang tahu atau setidaknya merasa pernah mendengar, mungkin karena kejadian langka nan menghebohkan yang menimpa Muhammaad Idul, bocah asal Pulau Siompu yang diserang Ikan Sori /Ikan Marlin Hitam (Makaira indica) saat memancing ikan di perairan  Pulau Siompu yang berjarak sekitar 4 km dari bibir pantai di Buton Selatan, Sulawesi Tenggara di pertengahan Januari yang lalu.Â
Ada yang ingat?
Kisah serangan Ikan Sori atau Ikan Marlin Hitam (Makaira indica)Â ini menjadi heboh karena moncong ikan marlin itu menancap di leher Muhammaad Idul sampai selama 2 hari dan baru bisa terlepas setelah dilakukan tindakan operasi oleh tim dokter dari RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Makassar, Sulawesi Selatan.
Kejadian bermula ketika Muhammad Idul dan kawannya yang memancing di malam hari tiba-tiba diserang ikan Sori atau Ikan Marlin Hitam  (Makaira indica).Â
Nahasnya, serangan mendadak dari ikan yang menurut peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Selvia Oktaviyani, tergolong ikan pelagis, predator (billfish), tipe perenang cepat yang agresif dan selalu menggunakan moncongnya yang panjang dan tajam untuk membunuh mangsa itu, melompat tepat kearah  Muhammad Idul dan moncong tajam Ikan yang bisa tumbuh sampai sepanjang 5 meter dengan bobot sampai diatas 700 kg ini menusuk leher sampai sedalam 15 cm.
Artinya, ketika dirujuk dari RS. Siloam Bau-Bau menuju RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Makassar dengan menggunakan pesawat udara, Ikan Sori atau Ikan Marlin (Istiompax indica)Â itu sengaja dibiarkan tetap menancap di leher Muhammaad Idul dan akhirnya terlepas setelah dilakukan tindakan operasi oleh tim dokter. Wooow, sedikit horor juga ya! Bagaimana? Sudah mulai ingat atau mengenali Pulau Siompu?
Pulau Siompu "surga bawah air yang tersembunyi" di Sulawesi Tenggara
Pulau Siompu merupakan salah satu pulau kecil yang masuk dalam wilayah Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau seluas sekitar 60 km persegi yang oleh penikmat olahraga bawah air dijuluki sebagai "surga bawah air yang tersembunyi" dengan spot terkenal salah satunya Tongali Ridge ini, terbagi menjadi dua kecamatan Siompu Timur dan Siompu Barat dan letaknya persis di bagian barat daya Pulau Buton, pulau terbesar di gugusan pulau-pulau di bagian tenggara daratan Sulawesi.
Untuk menuju ke Pulau Siompu, diperlukan waktu tempuh sekitar 6 jam perjalanan dengan kapal fery ke Kota Bau Bau dan dilanjut  40 menit perjalanan laut menggunakan perahu cepat  (speedboat) dari Pelabuhan Topa, Kota Bau Bau.Â
Selain mempunyai surga bawah air, Pulau Siompu ini juga terkenal sebagai penghasil buah jeruk lokal yang sangat terkenal dengan citarasanya yang manis, bahkan mengutip dari antaranews.com konon lebih manis dari semua jenis jeruk unggulan di Indonesia, seperti jeruk keprok Sumatera, Kalimantan atau jeruk dari Bali atau Jawa, yaitu jeruk Siompu.Â
Sayang, varietas jeruk Siompu ini konon tidak bisa dibudidayakan di tempat lain, sehingga kondisinya sekarang terancam punah.
Mata Biru, Jejak Cintra Bangsa Portugis di Pulau Siompu
Selain surga bawah laut yang begitu menawan, juga jeruk Siompu yang begitu manis dan legendaris, ternyata Pulau Siompu juga menyimpan keunikan endemik yang sangat langka dan sepertinya sulit untuk menemukannya di daerah lain di Indonesia. yaitu keberadaan Bula atau penduduk berkulit albino keturunan dari Hatibi Bula, khatib/tokoh agama Islam di masa lalu  (Insha Allah akan saya tulis di artikel terpisah) dan yang tidak kalah menarik adalah keberadaan entitas pemilik mata biru yang menurut sejarahnya, konon merupakan keturunan dari Wa Ode Kambaraguna,  putri dari Raja Siompu II yang menikah dengan seorang Portugis (konon bernama Pitter).Â
Menurut La Dala, pewaris mata biru dan juga ciri fisik khas masyarakat eropa seperti tinggi, hidung mancung, kulit putih dan juga rambut pirang yang merupakan keturunan ke-5 dari pernikahan putri Siompu, Wa Ode Kambaraguna dengan Pitter, dari pernikahan moyangnya tersebut lahir beberapa anak, salah satunya La Ode Raindabula, generasi pertama mata biru di Siompu.Â
Selanjutnya, La Ode Raindabula mempersunting perempuan bangsawan lainnya dan memiliki lima anak, antara lain La Ode Pasere yang merupakan kakek buyut La Dala dari pihak ibu.
Sedangkan La Dala sendiri yang saat ini menjabat sebagai kepala sekolah SDN 2 Kaimbulawa, kampung halamannya sendiri tercatat mempunyai enam orang anak yang salah satu diantaranya, yaitu Ariska Dala mewarisi mata biru dari La Dala, ayahnya.
Bola mata dara yang beranjak dewasa ini terlihat mempesona dengan sorot mata tajam dan iris mata berwarna biru mencolok, seperti warna laut yang mengelilingi kampung halamannya, pulau Siompu.Â
Uniknya, sebagai salah seorang pewaris darah Portugis di Pulau Siompu, Riska "hanya" kebagian mata biru saja, karena kulit Ariska tetap sawo matang seperti lazimnya warga Siompu dan umumnya masyarakat Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan fakta dilingkungan pulau Siompu, khususnya di  Desa Kaimbulawa, yang hanya menyisakan hanya sekitar 10 orang yang memiliki mata biru, termasuk La Dala dan Riska puterinya, sementara sisanya mewarisi ciri fisik lainnya, seperti hidung mancung, rambut pirang dan juga perawakan tinggi besar mirip orang Eropa tanpa memiliki mata berwarna biru.
Sejarah Mata Biru di Pulau Siompu
Menurut La Ode Yusri, peneliti budaya Sulawesi Tenggara, pelaut Portugis dalam misinya berburu rempah kepulauan Maluku di abad 16, mula-mula mereka melintasi jalur Utara, Pulau Mindanao (Filipina), tapi karena banyak perompak, mereka mengalihkan jalur pelayaran ke Selatan melalui Pulau Buton yang akhirnya jadi pulau persinggahan untuk mengisi perbekalan bagi pelaut Portugis yang menuju ke Maluku, seperti dikisahkan dalam naskah kuno Buton, Kanturuna Mohelana (Pelitanya Orang Berlayar).
Fase ini diperkirakan terjadi antara tahun tahun 1500-1600an atau saat Kesultanan Buton dibawah kepemimpinan Murhum atau Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537), La Tumparasi atau Sultan Kaimuddin (1545-1552), dan La Sangaji (1566-1570).Â
Selain ikatan perkawinan, kedekatan Portugis dengan Kesultanan Buton juga terlihat dari kostum salah satu kompi pasukan kesultanan Buton yang yang dilengkapi dengan topi berbentuk cekung menjulang ke atas khas Portugis yang lazim disebut masyarakat Buton sebagai popongku.
Sayang, kemesraan armada Portugis dengan Kesultanan Buton akhirnya harus berakhir setelah datangnya bangsa Eropa lain yang dengan politik adu dombanya (devide et impera)Â berhasil memecah belah Kesultanan dan masyarakat Buton untuk mengamankan kepentingan dagang dan jalur pelayarannya di wilayah Buton.
Salah satu propagandanya adalah fitnah terhadap keturunan Portugis dalam hal ini tentunya termasuk pewaris Si-Mata Biru yang mereka sebut sebagai pengkhianat.Â
Propaganda jahat itulah salah satu penyebab diaspora Si Mata Biru dan anak-anak hasil perkawinan Buton-Portugis lainnya ke beberapa wilayah, seperti Liya (Kabupaten Wakatobi), Ambon, bahkan hingga Malaysia.
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI