Masyarakat Kalimantan Selatan telah lama mengenal sekaligus memanfaatkan tanaman purun, keluarga rumput teki-tekian (family Cyperaceae) yang memiliki batang lurus berongga dan tidak mempunyai daun yang banyak tumbuh di rawa tergenang, tepi sungai, gambut dangkal dan tanah cenderung masam untuk diolah menjadi beragam kerajinan tangan berbasis anyaman, seperti tikar, bakul/tas, topi dan banyak lagi yang lainnya, karena sifatnya yang awet dengan kandungan lignin sebanyak 26.4% dan selulosa 32.62%.
Jenis tanaman purun yang banyak tumbuh di Kalimantan Selatan antara lain jenis purun tikus/mendong (Eleocharis dulcis), purun danau (Lepironia articulata Retz.) dan purun bajang.
Di Desa Banyu Hirang, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Provinsi Kalimantan Selatan terdapat Kelompok Usaha Bersama (KUB) bernama "Kembang Ilung" yang dalam bahasa Indonesia artinya bunga eceng gondok, selain piawai membuat berbagai kerajinan berbahan purun, pandan, bamban dan ilung (eceng gondok) yang produknya telah diekspor ke Jepang, Belanda, Jerman dan negara eropa lainnya, kelompok kreatif yang dikomandani oleh Supianoor ini juga memproduksi sedotan ramah alam berbahan dasar tanaman Purun Danau (eleocharis dulcis).
Hebatnya, sedotan ramah lingkungan yang di negeri sendiri sepertinya justeru masih benar-benar asing ini, ternyata laku keras di daratan Eropa. Tidak tanggung-tanggung, Kelompok Usaha Bersama (KUB) "Kembang Ilung" saja saat ini kewalahan untuk memenuhi pesanan dari negara-negara Eropa, khususnya pesanan dari negeri Belanda yang secara rutin tiap bulan memesan sedotan purun Amuntai sebanyak 200 ribu stick dengan harga satuan Rp. 200,-/stick.
Kendala utama produksi sedotan purun ini sebenarnya cukup menggemaskan! Nah lho!?
Perajin sedotan purun sampai saat ini masih belum mempunyai atau tepatnya menemukan teknologi alat potong yang pas dan representatif sesuai karakter batang purun yang relatif mudah pecah jika dalam keadaan kering, selain pisau silet yang tipis dan tajam yang diopersaikan secara manual satu-persatu. Ini penyebab lamanya proses produksi, sedangkan bila menggunakan alat potong lain hasilnya banyak yang cacat karena tidak presisi dan juga pecah pada ujung atau pangkalnya.
Uniknya, bahkan menurut Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Ahmad Redhani Effendi, seperti dikutip dari kalsel.antaranews.com “Perajin anyaman purun dan ilung di Kabupaten Hulu Sungai Utara terbilang “nekat” menerima dan memenuhi pesanan alat sedotan purun dari perusahaan Belanda sebanyak 200.000 stick/bulan dengan spesifikasi panjang seragam, tidak cacat/pecah ujung, lubangnya bulat, kering dan bersih, padahal alat potong yang digunakan hanya silet.
Selain itu, karena produk kerajinan sedotan purun ini relatif masih baru, maka SDM terampil yang siap kerja juga relatif masih sedikit, khususnya untuk proses pemotongan yang masih manual satu-persatu menggunakan pisau silet dan juga proses pembersihan bagian dalam batang purun dengan alat khusus yang sudah pasti memerlukan ketelatenan dan kesabaran tingkat tinggi.