Kedua, bernegosiasi. Konsekuensi risikonya mungkin terkait masalah “harga diri” dari calon mempelai laki-laki di hadapan keluarga calon mempelai perempuan dan juga lingkungan sosialisasi masing-masing. Tapi kalau demi sang ratu?
Situasi berbeda jika, dari pihak mempelai perempuan mau membuka diri untuk bernegosiasi, umumnya pihak laki-laki akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.
Kira-kira kalau Anda mengalami sendiri situasi ini, opsi mana yang menjadi pilihan Anda?
Memang sangat disayangkan, jika pernikahan sebagai jalan menuju ibadah, harus terhalang oleh nafsu gengsi belaka, apalagi kalau kedua calon mempelai sudah saling menyukai, menyayangi satu sama lain, dan sudah lama merajut kasih.
Bersyukurnya, sekarang masyarakat terlihat lebih arif, bijaksana, dan proporsional dalam menyikapi dilema jujuran yang dulunya sering menjadi buah simalakama.
Meskipun sampai detik ini masih sering terdengar anak-anak crazy rich yang mendapatkan atau memberikan jujuran dengan besaran angka yang fantastis.
Tetapi tidak jarang juga terdengar kabar dari crazy rich lainnya yang menyerahkan sepenuhnya besaran angka jujuran semampu pihak calon mempelai laki-laki.
Mudah-mudahan sabda Rasulullah SAW inilah inspirasinya; “Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Daud, No. 2117; Al-Hakim, 2:181-182)
Inilah keunikan sesungguhnya dari jujuran.
Semoga bermanfaat!