Lantas, apa yang terjadi ketika pihak laki-laki benar-benar tidak mampu?
Apakah kisah cinta amorita antara pemuda biasa dengan puteri cantik nan kaya raya, puteri dari konglomerat pengusaha batubara seperti kisah cinta dalam sinetron-sinetron yang berakhir bahagia bisa terjadi di Banjarmasin?
Memang! Ada yang tetap berusaha berpikir positif dengan menempatkan “kemustahilan” pada angka-angka jujuran yang terkadang justeru benar-benar muncul dari pihak mempelai perempuan, sebagai bukti keseriusan dan juga motivasi untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas dan lebih kreatif lagi demi cintanya kepada sang puteri. Tapi, kalau tetap saja tidak mampu?
Disinilah kearifan dan kebijaksanaan para tetuha (yang dituakan) dari kedua belah pihak keluarga terutama dari pihak mempelai perempuan dipertaruhkan.
Opsi bagi pihak calon mempelai perempuan:
Pertama, bisa saja tetap bersikukuh mempertahankan “angka” jujuran yang diminta, meskipun pihak mempelai laki-laki jelas-jelas tidak mampu.
Tujuannya, selain untuk mengukur keseriusan serta kesungguhan pihak mempelai laki-laki, sebagian kalangan bahkan menjadikannya sebagai upaya untuk menjaga kehormatan keluarga pihak mempelai perempuan, bahkan ada juga yang menjadikannya sebagai "cara halus" untuk menolak pinangan pihak mempelai laki-laki.
Kedua, membuka kemungkinan “bernegosiasi” demi kebaikan bersama. Untuk opsi kedua ini memang lebih lazim terjadi, terutama bagi keluarga yang diantara kedua belah pihak sudah saling mengenal dengan baik.
Hanya saja, konsekuensi dari membuka kemungkinan negosiasi angka jujuran ini bagi pihak perempuan, kemungkinan besar hanya malu pada tetangga dan kemungkinan menjadi bahan gunjingan masyarakat karena angka jujuran yang akan didapat tidak sesuai dengan “kelas atau level sosial" keluarga.
Sedangkan opsi bagi pihak calon mempelai laki-laki:
Pertama, jika benar-benar tidak mampu, tidak bisa atau tidak mau untuk memenuhi permintaan angka jujuran dari pihak calon mempelai perempuan, opsinya hanya menolak atau membatalkan pinangan saja.