Bila pihak calon mempelai laki-laki ternyata tidak mau, tidak bisa atau tidak sanggup memenuhi angka besaran jujuran yang diminta pihak perempuan, maka tidak menutup kemungkinan rencana pernikahan berikut kisah asmara yang terajut selama bertahun-tahun diantara kedua calon mempelai bisa menguap alias batal begitu saja! Woooooow, ngeri-ngeri sedap bukan?
Uniknya lagi, besaran rupiah untuk jujuran memang tidak ada rumus baku untuk menghitungnya!
Hanya saja, mindset yang berlaku umum di masyarakat Banjar adalah “Semakin besar nilai angka jujuran yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki, maka semakin tinggi juga "nilai" pengantin perempuan juga keluarganya di masyarakat”.
Hal ini sangat sesuai dengan fakta umum yang sering terjadi di masyarakat, dimana semakin tinggi status sosial, baik karena faktor keturunan, kekayaan, pendidikan, pekerjaan, bahkan hingga kecantikan yang dimiliki seorang perempuan, biasanya akan berbanding lurus dengan angka jujuran yang diminta keluarga kepada pihak mempelai laki-laki.
Khusus untuk besaran angka riilnya, memang tidak ada yang benar-benar mengumumkannya secara terbuka. Tapi masyarakat umumnya bisa memperkirakannya dari kemegahan acara resepsi/pesta pernikahan, termasuk semua keperluan pernikahan atau belanja pengantin baru untuk isi kamar pengantin seperti ranjang, lemari, meja rias.
Bahkan, banyak atau sedikit tamu yang akan diundang konon juga sangat dipengaruhi oleh besaran angka jujuran-nya.
Faktanya, saat ini rata-rata besaran jujuran yang umum terdengar di masyarakat adalah dikisaran 50-100 juta, sedangkan untuk kalangan crazy rich di Banjarmasin, angka ratusan sampai milyaran sepertinya bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Hanya saja yang perlu dicatat dan digaris bawahi! "Semua besaran angka jujuran itu layaknya bau kentut, baunya ada dan tercium tapi bentuk berikut pemiliknya umumnya tidak pernah secara jelas terlihat atau terang-terangan mengaku. Begitu juga jujuran, sejauh yang umum terjadi tidak pernah diumumkan secara terbuka, hanya kabar burung yang mengabarkan besaran angkanya".
Memang, seiring perjalanan waktu makna jujuran di beberapa tempat sudah mulai bergeser. Sekarang mulai sering terlihat di kelompok masyarakat tertentu, jujuran diposisikan sebagai alat untuk menunjukan gengsi dan derajat kehormatan keluarga di lingkungan sosialisasi masing-masing, bahkan kabarnya sudah ada yang “kebablasan” mengumumkan besaran angkanya saat resepsi perkawinan.
Disinilah jujuran sering menjadi dilema! Menjadi buah simalakama! Bahkan bisa menjadi penghambat dan penghalang niat suci dua insan anak manusia untuk menyempurnakan sunnah Rasulullah SAW untuk menikah.
Jika kita kalkulasi rata-rata pendapatan umum pemuda siap nikah di usia ideal 25 tahun, dengan rata-rata pengalaman kerja 3 tahun (asumsi, jika Strata 1 lulus usia 22 tahun) sepertinya masih terlalu jauh untuk bisa mempersiapkan jujuran minimal sebesar 50 jutaan untuk meminang sang pujaan hati, kecuali dibantu oleh keluarga.