Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Unik, Ternyata di Banjarmasin Tidak Ada Arah Mata Angin!

28 September 2019   23:12 Diperbarui: 29 September 2019   11:07 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mangayuh Jukung (dokpri)

Jika Anda pernah jalan-jalan ke Banjarmasin atau juga ke berbagai kota atau daerah lain di Kalimantan Selatan dimana mayoritas penduduknya adalah urang Banjar, sekali-kali bolehlah coba tanya arah atau alamat yang akan Anda tuju.

Saya jamin, Anda tidak akan pernah mendengar arah mata angin seperti Barat, Utara, Timur dan Selatan disebutkan untuk menjelaskan arah yang anda tanyakan, apalagi arah mata angin turunan seperti tenggara, barat daya, barat laut dan timur laut.

Pengalaman unik saya di kantor terkait "arah mata angin" berikut, mungkin akan membuat anda semakin menyadari betapa beragamnya Indonesia, betapa kayanya budaya kita! Itulah fakta dari pepatah tua "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya!"

Saat itu, kebetulan semua karyawan di kantor mendapat undangan untuk menghadiri acara akad nikah dari salah satu rekanan bisnis perusahaan tempat saya kerja, lokasinya di Masjid Raya Sabilal Muhtadin yang lokasinya tepat di Jantung Kota Banjarmasin.

Karena yang mengundang temannya bos saya, maka banyak teman-teman yang kurang mengenal bahkan tidak mengenal si pengundang, maka biar tidak mati gaya saat menghadiri undangan, akhirnya kita janjian untuk datang bareng-bareng saja.

Malam harinya, melalui SMS saya usul kepada semua teman-teman yang besok ke Masjid Sabilal Muhtadin untuk kumpul dulu di taman sebelah utara masjid, sebelum bersama-sama masuk ke ruang akad nikah dan semua merespon Ok!

Tapi anehnya, sampai acara dimulai dari sekitar sepuluh orang yang harusnya kumpul, hanya tiga orang yang bisa sampai di tempat yang telah kita sepakati, yaitu di taman utara Masjid. Itupun setelah mereka susah-payah juga mencari-cari lokasi yang telah kita sepakati!

Ini aneh menurut saya! Bukankah janjiannya sudah jelas, kita kumpul di taman utara Masjid!? Tapi kenapa teman-teman yang lain tidak juga sampai? Usut punya usut, dari tiga orang teman yang akhirnya menemukan saya di taman utara Masjid, akhirnya saya mendapatkan jawaban mengejutkan!

"Pak, maaf kami tidak tahu dimana bagian utara masigit (masjid;bhs Banjar) yang bapak maksud, harusnya bapak kasih tahu saja di bagian taman sebelah kiri masigit. Kami tahunya masigit menghadap matahari (Urang Banjar lebih terbiasa menyebut menghadap matahari untuk menyebut arah timur)"

Lho kenapa?
Inilah sisi unik sistem navigasi dari Urang Banjar yang sepertinya wajib anda ketahui dan pahami. Urang Banjar sebenarnya bukan tidak mengenal arah mata angin seperti Barat, Utara, Timur dan Selatan berikut turunannya seperti tenggara, barat daya, barat laut dan timur laut.

Sebagai bukti, nama kecamatan di dalam Kota Banjarmasin sendiri semuanya memakai kosakata arah mata angin, seperti Banjarmasin Barat, Banjarmasin Utara, Banjarmasin Timur, Banjarmasin Selatan dan Banjarmasin Tengah.

Begitupula beberapa nama kabupaten di daerah Hulu Sungai yang juga memakai kosakata arah mata angin seperti Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, bahkan nama propinsinya urang banjar, Kalimantan Selatan juga ada arah mata anginnya.

Terus kenapa urang Banjar seperti tidak mengenal arah mata angin?
Menurut budayawan Banjar yang juga kompasianer Zulfaisal Putera, semua kembali pada kesederhanaan urang Banjar dalam menyikapi berbagai fenomena sosial yang mucul dalam proses interaksi di dalam lingkungan sekitarnya. 

urang Banjar yang cenderung kada mau bangalih-ngalih atau tidak mau repot, selalu berusaha untuk menyederhanakan semua "masalah dan permasalahan" yang ada disekitarnya, mungkin termasuk urusan untuk mengingat arah mata angin tersebut.

Fakta dalam kehidupan sehari-hari, urang banjar memang tidak pernah memakai kosakata arah mata angin untuk navigasi atau penunjuk arah. Sebagai ganti untuk penunjuk arah, Urang Banjar biasa memakai kosa kata penunjuk arah kiri-kanan dan atas-bawah, seperti penunjuk arah peta (2) dua dimensi.

Mangayuh Jukung (dokpri)
Mangayuh Jukung (dokpri)
Budaya Sungai yang dibawa ke Daratan!
Ini hipotesa saya! Selain karena kesederhanaan Urang Banjar yang cenderung kada mau bangalih-ngalih atau tidak mau repot seperti dipaparkan oleh Budayawan Banjar Zulfaisal Putera diatas, menurut saya ada fenomena unik dibalik tidak berlakunya arah mata angin di Kota Banjarmasin dan Kalimantan selatan, yaitu tradisi budaya sungai yang dibawa ke daratan.

Kota Banjarmasin yang berjuluk Kota 1000 Sungai, merupakan salah satu kota yang mempunyai cirikhas dan keunikan yang bersifat spesifik dan endemik. 

Tidak ada kota lain di muka bumi yang mempunyai spesifikasi mirip apalagi sama dengan Banjarmpermukaan air laut sehingga daratannya didominasi oleh kantong-kantong air berupa rawa-rawa dan sungai. 

Pertemuan dan persentuhan intensif antara Urang Banjar dengan alamnya yang unik dan sepesifik selama berabad-abad lamanya, akhirnya membentuk entitas budaya yang sekarang diidentifikasi para ahli sebagai budaya sungai atau budaya perairan darat khas masyarakat Banjar.

Dimana lingkungan sungai dan perairan darat lainya diposisikan sebagai urat nadi kehidupan yang dalam perjalanannya melahirkan tradisi cara/pola hidup, berperilaku, dan adaptasi manusia di lingkungan perairan darat yang berlaku secara turun temurun.

Sungai benar-benar menjadi urat nadi kehidupan yang tidak tergantikan, bahkan sampai sekarang ketika arah pembangunan nasional kita sepertinya masih berorientasi pada daratan dan masih berusaha "memunggungi" sungai. 

Saking lengketnya budaya sungai dengan Urang Banjar, meskipun sekarang aktifitas masyarakat telah bergeser lebih banyak didaratan daripada di sungai, tetap saja masyarakat tidak bisa meninggalkan budaya sungai, bahkan beberapa diantaranya justeru diadopsi dan diterapkan di daratan. 

Salah satunya, ya... tradisi navigasi khas Urang Banjar yang justeru tidak mengenal 8 (delapan) arah mata angin layaknya sistem navigasi modern saat ini. 

Kelotok Melintas si Sngai Kerukan (dokpri)
Kelotok Melintas si Sngai Kerukan (dokpri)
Mungkin semua dimulai dari kebiasaan masyarakat Banjar tempo dulu yang menjadikan sungai sebagai satu-satunya "jalan raya" untuk berlalu-lintas. Sungai sebagai satu-satunya akses untuk menuju ke berbagai daerah tujuan perjalanan, arah dan jalur pelayarannya sudah di sediakan alam.

Kalau tidak menuju ke hulu berarti sebaliknya ke hilir/atau ke muara. Kalaupun bertemu dengan simpang tiga atau simpang empat, tinggal pilih saja belok kiri, belok kanan atau lurus yang biasanya disebut masyarakat Banjar sebagai ke atas. 

Jadi untuk melakukan perjalanan menuju ke berbagai kota/daerah tujuan, masyarakat Banjar dari dulu memang tidak memerlukan arah mata angin dan kebiasaan ini masih eksis sampai detik ini! Bahkan, ketika masyarakat Banjar sekarang lebih banyak beraktifitas didaratan daripada di sungai seperti dulu. Betul!? 

Wallahu a'lam bish-shawabi
Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun