Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sisi Unik Pasar Terapung Banjarmasin yang Masih Jarang Diketahui Publik

4 Agustus 2019   22:37 Diperbarui: 5 Agustus 2019   18:52 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Acil Menyerahkan Barang Dagangan| Dokumentasi pribadi

Menikmati keunikan pasar terapung di Kalimantan Selatan sebagai salah satu destinasi petualangan budaya terbaik di Indonesia dan dunia merupakan salah satu momen yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup! 

Selain bisa menikmati warisan budaya bahari (lama/tua) peninggalan Kesultanan Banjar yang telah berusia lebih dari lima abad, di pasar terapung kita juga bisa menikmati keindahan landscape alam perairan dan hijaunya lingkungan Kalimantan yang sejak dulu memang identik dengan segarnya hutan hujan tropis sehingga Kalimantan juga dikenal sebagai paru-paru dunia.

Baca Juga : Menemukan "Pasar Terapung Lok Baintan" dari Jalur Darat

Keunikan pasar terapung di Kalimantan Selatan memang sudah tersohor ke berbagai belahan dunia, tapi sayang sejauh ini masyarakat dan wisatawan baru sebatas mengenal keunikan yang bersifat “umum” yang bisa dianalogikan sebagai casing-nya saja, seperti keunikan tempat atau lokasinya yang tidak umum alias tidak biasa, yaitu di atas sungai, serta cara dan alat untuk berjualan yang memakai Jukung. 

Jembatan Lok Baintan | Dokumentasi pribadi
Jembatan Lok Baintan | Dokumentasi pribadi
Padahal keunikan pasar terapung bukan hanya itu! Masih banyak aspek budaya yang berakar dari kearifan lokal khas Suku Banjar yang sesungguhnya merupakan roh dari tradisi pasar terapung itu sendiri, justeru sering terlewatkan atau malah dilewatkan oleh para wisatawan, ketika berkunjung ke pasar terapung. 

Inilah yang akan membedakan pasar terapung “asli” di Kalimantan Selatan dengan berbagai pasar terapung buatan yang kini mulai banyak dikembangkan di berbagai daerah untuk menarik wisatawan berkunjung.

Berikut sisi unik pasar terapung asli khas Kalimantan Selatan yang harus diketahui oleh para pelancong yang ingin merasakan sensasi unik berpetualang, berinteraksi dan bertransaksi di atas jukung yang terus bergerak mengikuti arus ala urang Banjar bahari!

Pasar Terapung Siring Tendean | Dokumentasi pribadi
Pasar Terapung Siring Tendean | Dokumentasi pribadi
Pertama, ada tiga pasar terapung di Kalimantan Selatan
Ini fakta yang masih banyak tidak diketahui oleh para pelancong, khususnya yang dari luar Kalimantan Selatan. Sejauh ini di Kalimantan Selatan dikenal ada 3 (tiga) destinasi pasar terapung yang masing-masing menawarkan sensasi serta eksotisme yang sedikit berbeda-beda.

Pasar terapus tersebut yaitu pasar terapung alami tertua yang berusia ratusan tahun di muara sungai kuin di tepian Sungai Barito, pasar terapung buatan di sekitar menara Pandang atau Siring Tendean Sungai Martapura (keduanya terletak di Kota Banjarmasin) dan yang terakhir adalah Pasar Terapung Lok Baintan, di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar yang lagi naik daun.

Kedua, Bahasa Banjar
Semua pedagang di Pasar Terapung biasanya menggunakan bahasa Banjar dialek batang banyu atau Banjar hilir yang relatif tidak terlalu cepat sehingga relatif mudah untuk dipahami. Biasanya para acil ini terutama yang relatif masih muda biasa merespons bahasa Indonesia yang dipakai para pengunjung dengan baik.

Baca Juga : Budaya Banjar-Jukung Barenteng

Situasi ini mungkin agak berbeda bila bertemu dengan pedagang paninian (nenek-nenek; bahasa Banjar) karena beberapa di antaranya ada yang tidak begitu mengerti dengan bahasa Indonesia dan bahasa Banjarnya relatif cepat dan agak susah untuk dipahami.

Tapi jangan khawatir, justeru disinilah uniknya! Karena para pedagang ini semuanya bergerombol, jadi komunikasi dijamin tetap bisa berjalan, walaupun pasti akan disertai dengan gelak tawa “bahagia” yang akan membuat Anda selalu mengenangnya.

Acil Menyerahkan Barang Dagangan| Dokumentasi pribadi
Acil Menyerahkan Barang Dagangan| Dokumentasi pribadi

Makanya, kalau ke pasar terapung di Kalimantan Selatan, jangan hanya puas dengan berfoto-foto ria saja! Cobalah berinteraksi dan bertransaksi dengan para acil dan amang, karena disinilah Anda akan menemukan berbagai pengalaman unik yang tidak akan pernah Anda lupakan seumur hidup Anda dan rasakan sensasinya!

Ketiga, Acil, Amang, dan Julak
Para pedagang di pasar terapung sebagian besar merupakan ibu-ibu atau para paninian (nenek-nenek: bahasa Banjar) yang biasa dipanggil dengan sebutan acil yang artinya bibi/bulik/tante, kecuali pasar terapung yang di Muara Kuin. 

Kalaupun ada laki-laki, biasanya suami atau keluarga si acil yang mengawani atau menemani saat berjualan. Para lelaki ini biasa dipanggil paman atau amang (paman: bahasa Banjar), tapi ada juga yang dipanggil Julak (Pakde: bahasa Banjar).

Jukung Barenteng| Dokumentasi pribadi
Jukung Barenteng| Dokumentasi pribadi

Keempat, dukuh dan penyambangan
Para pedagang yang berjualan di pasar terapung, menurut adatnya dibagi menjadi dua kategori yang biasa disebut dengan dukuh dan panyambangan. Dikategorikan dukuh, bila pedagang itu menjual barang-barang yang berstatus milik sendiri atau milik keluarganya sendiri, sedangkan istilah kategori panyambangan itu disematkan kepada para pedagang yang menjualkan barang milik orang lain (reseller)

Kelima, jukung
Perahu yang dipakai para acil dan paninian untuk berjualan ini disebut jukung. Perahu ini tidak bermesin, jadi untuk menjalankannya harus didayung menggunakan bilah dayung. 

Dalam bahasa Banjar, sebutan jukung itu merujuk pada semua jenis perahu dengan ukuran yang relatif kecil dan tidak memakai mesin. Sekadar informasi, masyarakat Banjar mempunyai macam-macam jukung yang jenisnya mencapai puluhan.

Jukung Barenteng| Dokumentasi pribadi
Jukung Barenteng| Dokumentasi pribadi

Keenam, Jukung Barenteng
Sebagian besar para pedagang pasar terapung berasal dari daerah pedalaman yang relatif jauh dari lokasi pasar terapung. Untuk bisa berjualan di lokasi pasar terapung mereka biasanya akan berangkat secara berombongan dengan cara ditarik oleh kelotok (perahu bermesin tempel dengan ukuran lebih besar) begitu juga untuk kembali pulang menuju kampung dan rumah masing-masing. 

Formasi unik yang dibentuk oleh rombongan para pedagang pasar terapung saat berangkat dan pulang berjualan dengan cara mengikatkan seutas tali pada bagian ujung masing-masing jukung dalam satu rombongan yang ditarik oleh kelotok inilah yang biasa disebut dengan jukung barenteng.

Ketuju, tanggui, pupur bangkal dan kerudung.
Mayoritas pedagang di pasar terapung adalah Urang Banjar. Seperti layaknya masyarakat Banjar lainnya yang sejak dulu dikenal sangat religius, sebagian besar para pedagang pasar terapung juga “berseragam” layaknya muslimah pada umumnya, yaitu memakai baju muslim longgar yang menutup semua bagian tubuh, termasuk jilbab atau kerudung untuk penutup kepala. 

Sedangkan untuk mengurangi terpaan terik sinar matahari, biasanya para acil akan melengkapi atribut di kepala dengan tanggui, sejenis topi caping yang dibuat dari bahan daun nipah dan biasa dipakai oleh para petani di Banjar

Selain itu, para acil dan paninian juga tidak akan lupa untuk selalu memulaskan pupur bangkal atau pupur dingin ramuan tradisonal di seluruh wajah untuk menjaga kehalusan kulit sekaligus melindungi kulit dari sengatan terik matahari.

Senyum Ramah Acil dengan Pupur Bangkal di Wajah| Dokumentasi pribadi
Senyum Ramah Acil dengan Pupur Bangkal di Wajah| Dokumentasi pribadi
Penampilan khas acil-acil ini semakin mempesona tatkala senyuman tulus, hangat, dan bersahabat khas Urang Banjar mulai mengembang disaat menyapa para pengunjung yang datang. Hanya saja, kesan ini mungkin berbeda di mata pengunjung anak-anak yang baru pertama kali melihat penampilan acil-acil “bertopeng” layaknya riasan badut ini, ekspresinya bisa macam-macam. Ada yang tertawa terpingkal-pingkal tapi tidak jarang ada juga yang menangis ketakutan. Lucu ya!

Kedelapan, Dagangan Acil
Untuk ragam dagangan yang dijual acil dan amang, walaupun sekilas terlihat sama atau mirip-mirip, menjual buah-buahan, sayuran, bumbu dapur, tanaman, bunga, ayam, itik, telur, sembako, aneka wadai (kue), nasi kuning, soto Banjar, sampai kerajinan tangan khas suku Banjar juga ada di sini. 

Sebenarnya kalau diperhatikan lebih teliti ternyata masing-masing pasar terapung mempunyai sedikit perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing. 

Pedagang di Pasar Terapung Muara Kuin, dagagannya relatif kompleks dan lengkap, uniknya pedagang Soto Banjar, nasi kuning, aneka gaguduh (gorengan: bahasa Banjar) dan berbagai makanan semi berat dan berat lainnya dijajakan lengkap dalam kelotok yang juga ada tempat untuk duduknya disini. 

Sedangkan di Pasar Terapung Siring Tendean lebih simpel dan lengkap, dimana untuk makanan semi berat dan berat dijajakan di dermaga apung bukan di kelotok dan untuk Pasar Terapung Lok Baintan juga simpel, relatif lengkap untuk hasil buminya (dominan) tapi belum kompleks, pedagang makanan semi berat dan berat masih relatif sedikit.

Warna-warni Hasil Bumi di Pasar Terapung| Dokumentasi pribadi
Warna-warni Hasil Bumi di Pasar Terapung| Dokumentasi pribadi

Kesembilan, alat bantu berjualan Acil
Jukung yang dipakai acil-acil berjualan ukurannya berbeda-beda, sehingga tidak semua jukung bisa benar-benar merapat mendekati pembeli, begitu juga sebaliknya. 

Apalagi seperti konsep jualan di pasar terapung siring Tendean, dimana antara penjual dan pembeli dibatasi ujung dermaga yang mengharuskan para acil memakai tongkat dayungnya untuk mengambil uang atau menyerahkan barang yang dibeli oleh pengunjung. Begitu pula jika pembeli ingin mengambil gorengan atau kudapan, mereka harus memakai tongkat dengan tusukan diujungnya.

Baca Juga : Membangun Ruang Publik Berbasis (Budaya) Sungai ala Kota Banjarmasin

Kesepuluh, tradisi Bapanduk
Tradisi bapanduk atau barter merupakan tradisi bahari warisan dari para pendahulu yang masih di lestarikan oleh para pedagang di pasar terapung sampai saat ini, bedanya kalau dulu bapanduk-nya berdasar nilai barang hasil kesepakatan, sedangkan sekarang bapanduk-nya berdasar harga dalam mata uang rupiah.

Kesebelas, akad jual beli
Sebenarnya tradisi akad jual beli ini tidak hanya ada di lingkungan pasar terapung saja, tradisi yang bersumber dari syariat Islam ini juga masih tetap berlaku di berbagai tempat dimana masyarakat Banjar bertransaksi, mulai dari warung-warung kecil, pasar, minimarket, bahkan di supermarket sekalipun.

Setelah pembeli menyerahkan uang pembelian, maka penjual akan mengucapkan “jual atau dijual atau jualah!” Berikutnya pihak pembeli wajib mengucapkan “beli/belilah atau tukar/tukarlah (beli; bahasa Banjar)”.

Jadi jangan kaget, bila sekali waktu Anda membeli sesuatu di warung tiba-tiba penjualnya mengucapkan “jual atau dijual atau jualah!”, itu artinya Anda sudah sampai di bumi Kota 1000 Sungai, Banjarmasin Bungas atau di daerah lain di bumi Antasari, Kalimantan Selatan untuk itu wajib bagi Anda untuk membalasnya dengan mengucap “beli/belilah atau tukar/tukarlah”.

Pembeli Membayar Belanjaan| Dokumentasi pribadi
Pembeli Membayar Belanjaan| Dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun