- transportasi antar kota perhajian, melayani 6 rute, yaitu : bandara Madinah ke pemondokan Madinah, Madinah ke Makkah, Jeddah ke Makkah, Makkah ke Jeddah, Makkah ke Madinah, dan pemondokan Madinah ke bandara Madinah.
- transportasi shalawat, 24 jam non stop melayani 9 rute, yaitu : Jamarat - Mahbas Jin - Bab Ali (bus dengan nomor stiker 4), Syisyah - Syib Amir (nomor stiker 5), Syisyah Raudhah - Syib Amir (nomor stiker 6), Syisyah 1 - Syib Amir (nomor stiker 7), Syisyah 2 - Syib Amir (nomor stiker 8), Raudhah - Syib Amir (nomor stiker 9), Jarwal - Syib Amir (nomor stiker 10), Misfalah - Jiad (nomor stiker 11), Rea Bakhsy- Jiad (nomor stiker 12)
- transportasi Masyair, melayani 4 rute, yaitu: Makkah ke Arafah, Arafah ke Muzdalifah, Muzdalifah ke Mina, dan Mina ke Makkah.
Untuk masalah jamaah tersesat, dengan zonasi pemondokan plus tertibnya jamaah untuk selalu mengenakan atribut haji khas Indonesia termasuk bisa mengerti bahasa Indonesia (karena masih banyak calon jamaah haji yang hanya bisa berbahasa daerah masing-masing, terutama yang berusia tua) apalagi bahasa Arab, Insha Allah akan lebih cepat mendapatkan pertolongan untuk menemukan kembali area pemondokannya.
Untuk masalah bahasa, inilah salah satu keunikan khas jamaah haji dari Indonesia! Meskipun datang dari negeri yang sama, jamaah haji kita mempunyai latar belakang etnis yang berbeda-beda yang secara otomatis pasti mempunyai bahasa ibu yang berbeda-beda juga.
Belajar dari hasil survey kepuasan jamaah haji tahun-tahun sebelumnya, dimana faktor bahasa selalu menjadi salah satu kendala dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar jamaah yang dikhawatirkan bisa memicu kesalahpahaman, maka dengan sistem zonasi atau pengelompokkan ini diharapkan akan mengurangi resiko diatas dan semakin menambah kenyamanan jamaah dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehingga bisa menambah kekhusu’an dalam beribadah.
Terakhir, ini yang paling menarik! Dengan sistem zonasi ini, memungkinkan pemerintah sebagai “operator tunggal” penyelenggara ibadah haji di Indonesia untuk berinovasi pada ragam menu makanan/katering jamaah haji.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah memberikan menu katering berupa makanan yang bersifat nasional secara seragam kepada seluruh jamaah selama di tanah suci, maka mulai tahun ini selama mukim di Makkah menu lokal atau menu khas daerah masing-masing jamaah bisa dihidangkan tiga kali dalam seminggu, yaitu tiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu seperti disampaikan oleh Kepala Seksi Layanan Katering Daker Mekah Tahun 1440 H/2019 Dewi Gusti Karini.
Artinya, bagi jamaah haji dari embarkasi Banjarmasin (BDJ) dan Balikpapan (BPN) yang mayoritas merupakan urang Banjar dan Insha Allah akan menempati zona Rei Bakhsy sangat memungkinkan tetap bisa menikmati ragam kuliner khas Banjar seperti Soto Banjar, Katupat Kandangan, nasi kuning lauk Iwak haruan atau dendeng menjangan tiga kali dalam seminggu selama di Makkah. (Memang semua tergantung ketersediaan bahan baku dan kesanggupan juru masaknya!) Ini baru inovasi keren, iya nggak?
Sekilas, urusan perut ini bagi sebagian orang mungkin dianggap hanya urusan sepele saja, tapi bagi yang pernah melaksanakan ibadah haji atau mungkin sesekali ke luar negeri dengan budaya kuliner berbeda untuk waktu lebih dari sebulan mungkin baru bisa merasakan bagaimana rasanya “tersiksa” (secara fisik maupun psikologis) merindukan masakan ibu. Sangat mengganggu konsentrasi!