Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Niat Urang Banjar untuk Naik Haji Tetap Kuat Meski Harus Menunggu 31 Tahun

29 Juni 2019   13:47 Diperbarui: 29 Juni 2019   21:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Jabal Rahmah (dokpri)

Suku Banjar dan Islam
Masyarakat Banjar sejak dulu dikenal mempunyai akar kebudayaan Islam yang sangat kuat. Sejarah interaksi di antara keduanya diyakini para sejarawan telah dimulai jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banjar sekitar 5 abad yang lalu.

Dalam perjalanannya, budaya lokal masyarakat Banjar yang bersumber dan berakar dari kebudayaan melayu bisa berakulturasi dengan tradisi dan budaya Islam dengan baik, sampai-sampai relatif susah untuk mendapatkan garis separasi di antara keduanya. 

Situasi ini selaras dengan pernyataan antropolog Judith Nagata (dalam Hairus Salim HS), Suku Banjar merupakan salah satu suku di Indonesia yang identitas kesukuannya bertumpang tindih dengan identitas keagamaan, "Agama ya suku, suku ya agama".

Tidak heran jika sampai saat ini, Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas baik dari aspek spiritual maupun kultural masyarakat suku Banjar. 

Jejak-jejak kedekatan di antara keduanya telah menjadi ciri khas kehadiran keduanya dalam satu ranah bersama yang tidak bisa dipisah satu sama lain yang bisa dirumuskan dalam sebuah frasa, Banjar itu Islam, Islam itu Banjar yang secara riil bisa kita temukan "wajahnya" dalam berbagai aspek budaya suku Banjar. 

Mulai dari arsitektur bangunan (masjid, surau), falsafah kehidupan, tradisi, pola komunikasi-interaksi dan juga dalam ritus reliji (personal maupun komunal) termasuk di dalamnya fakta unik dan fenomenal tingginya minat urang Banjar untuk naik haji.

Suasana Jabal Rahmah (dokpri)
Suasana Jabal Rahmah (dokpri)

Orang Banjar dan Naik Haji
Sejarah berhaji Orang Banjar, menurut budayawan Banjar yang juga Kompasianer Zulfaisal Putera memang tidak ada catatan resmi yang bisa dijadikan rujukan, tapi jika melihat sejarah hidup Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812), ulama berpengaruh dari Kesultanan Banjar yang semasa hidupnya pernah menetap di Mekkah sekitar 30 tahunan.

Baca Juga: Bertemu Bintang Sepakbola di Masjidil Haram

Artinya, tahun 1700-an sudah ada Urang Banjar yang naik haji. Bahkan, menurut catatan Lesley Potter (2000), sebagaimana dikutip Taufik Arbain, tahun 1800 hingga 1900-an persentase dan proporsi orang Banjar yang menunaikan ibadah haji sudah lebih besar jika dibandingkan dengan jamaah dari Pulau Jawa.


Menurut informasi grafis dari akun Instagram Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang bersumber dari SISKOHAT per tanggal 18 Juni 2019, daftar antrean atau daftar tunggu jamaah haji untuk Kalimantan selatan menjadi yang terlama di Indonesia, yaitu 31 tahun.

Artinya, kalau sekarang tahun 2019 ini, saya mendaftar haji maka di atas kertas kemungkinan berangkat ke tanah suci paling cepat adalah tahun 2050. 

Kalau usia saya sekarang 40 tahun, berarti 31 tahun lagi saat berangkat haji usia saya sudah mencapai 71 tahun, usia yang relatif rentan dan tidak masuk rekomendasi untuk aktivitas ritual haji yang secara fisik cukup berat. Tapi itulah uniknya ibadah haji. Walaupun berat, tetap saja menjadi magnet yang kuat bagi umat Islam di seluruh dunia untuk melaksanakannya.

Baca Juga: Mohon... Jangan Naik Haji Lagi!

Panjangnya daftar tunggu haji di Kalimantan Selatan, sebenarnya bukan berita baru baik secara nasional maupun bagi urang Banjar sendiri, karena sejak tahun 1800-an seperti dalam catatan Lesley Potter di atas, keadaannya juga sudah seperti itu. Lantas bagaimana urang Banjar menyikapi situasi yang relatif “tidak biasa” ini?

Menurut budayawan Banjar Zulfaisal Putera, urang Banjar itu sederhana (baca: tidak mau repot) alias kada mau bangalih-ngalih (Bahasa Banjar: tidak mau repot) baik dalam berpikir maupun bertindak,

Karena konteks berhaji adalah dalam rangka ibadah kepada Allah SWT maka sebagian besar urang Banjar juga memahami masalah lamanya daftar tunggu haji ini juga dari konteks ibadah, yaitu sebagai ujian! Ujian kesabaran menunggu panggilan atau undangan dari Allah SWT. Jadi ya dijalani saja! Sederhana bukan!?

Sholat di Masjidil Haram (dokpri)
Sholat di Masjidil Haram (dokpri)

Kenapa Urang Banjar "Hobi" Naik Haji?
Inilah pertanyaan yang sering saya dapatkan dari teman-teman dan kerabat saya dari luar kekerabatan suku Banjar yang sebagian besar tinggal di luar Pulau Kalimantan. Tingginya minat urang Banjar untuk naik haji, apakah ini menunjukkan naik haji merupakan hobi dari urang Banjar? Wallahu A'lam Bishawab!

Secara umum, baik ditinjau dari sisi spiritual maupun sosiologi, masyarakat Banjar tidak jauh berbeda dengan umat Islam dari daerah lain di Indonesia dalam memposisikan ibadah haji sebagai salah satu bukti ketaatan tertinggi kepada Sang Maha Kuasa Allah SWT, begitu juga posisinya dalam eksistensi status sosial di masyarakat. 

Di lingkungan masyarakat Banjar, selain mendapat "tempat khusus" dari lingkungan sekitar, biasanya Pak Haji atau Ma Haji akan selalu diberikan tempat terdekat dengan tuan Guru bila ada acara keagamaan. Mantap kan...he...he...he...!?

Secara khusus, tingginya minat urang Banjar untuk naik haji sehingga menjadi salah satu penyebab lamanya daftar tunggu haji di Kalimantan Selatan adalah kearifan urang Banjar dalam memaknai “waktu” yang tersirat dalam ungkapan khas dari banua Banjar, “Umur Kada Babau” (umur tidak berbau) yang secara umum bisa dimaknai sebagai malaikat maut bisa menjemput kita kapan saja!

Urang Banjar sangat familiar dengan ungkapan paling populer di kalangan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan setelah lafaz Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un ketika mendengar kabar berita kematian atau meninggalnya seseorang ini.

Ungkapan bertuah ini telah lama menjadi sugesti bagi masyarakat Banjar "untuk selalu ingat mati" khususnya di saat yang tepat, karena dengan mengingat mati, diyakini masyarakat Banjar akan melembutkan hati, qana’ah dan lebih berhati-hati dalam proses ber-muamallah, baik dalam konteks Hablumminannas maupun Hablumminallah.

Aneka Panggilan Allah untuk Manusia (Grafis: annajah.com)
Aneka Panggilan Allah untuk Manusia (Grafis: annajah.com)

Keyakinan umur kada babau ini menjadikan masyarakat Banjar yang sejak lahir memang sudah “dekat” dengan Islam, tersugesti untuk selalu berusaha mendahulukan dan menyegerakan semua hal yang terkait dengan ibadah apapun situasi dan kondisinya, termasuk dalam urusan ibadah haji, “Biar Kada Tahutang, Kalaunya Mati Badahulu” (agar tidak terhutang, kalau sewaktu-waktu ajal lebih dulu datang), kata urang-urang tua bahari (orang-orang tua jaman dulu).

Tidak heran jika sejak dulu masyarakat Banjar yang dikenal sebagai pedagang-pedagang ulung sudah terbiasa mempersiapkan ibadah haji dengan semangat, keyakinan dan kesadaran tinggi sejak dini, terutama terkait dengan masalah biaya atau ongkos naik haji yang dulu dikenal masyarakat dengan istilah ONH dan juga termasuk sesegera mungkin mendaftarkan anak-cucu untuk berhaji. Inilah salah satu penyebab “terlihat” lamanya daftar tunggu berangkat haji di Kalimantan Selatan.

Baca Juga: Ketika Orang Banjar Naik Haji

Jangan berpikir bahwa urang Banjar yang menyegerakan berhaji selalu orang kaya, pejabat tinggi atau pedagang-pedagang besar dengan omset berlebih (mengingat besarnya rupiah untuk berangkat haji), banyak di antara mereka adalah pedagang-pedagang kecil, petani-petani penggarap bahkan para pencari ikan yang berbekal keyakinan kuat pada sang Pencipta, termasuk di dalamnya sugesti umur kada babau akhirnya tertuntun jalan hidupnya untuk bisa berhaji menjadi tamu Allah.

Makanya, jika Anda sempat jalan-jalan ke Banjarmasin atau ke daerah lain di Kalimatan Selatan dan menemui ada anak-anak (remaja tanggung), tukang becak, sopir taksi (Bahasa Banjar: angkot), tukang ojek atau juga Acil-Acil (Bahasa Jawa: bulik) penjual nasi kuning di pinggir jalan yang disapa dengan sapaan “Ji!” singkatan dari kata "haji"! Artinya, mereka sudah menunaikan ibadah haji.

Inilah sebagian kecil dari kisah tentang urang Banjar dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang ternyata juga ikut mewarnai “lamanya” antrean berangkat haji ke Tanah Suci, baik secara nasional maupun terkhusus di Kalimantan Selatan sendiri.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun