Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ternyata, Kepala Demang Lehman Masih Ditawan Belanda Sampai Saat Ini

23 Juni 2019   01:50 Diperbarui: 29 Juni 2021   09:23 4186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sindonews.com - wikimedia

Jika menyebut nama Demang Lehman, sepertinya masih belum banyak masyarakat Indonesia yang  mengenalnya. Kecuali sebagian pecandu sepakbola Tanah Air yang mungkin tidak sengaja atau "kebetulan" suka menjelajah informasi sepak bola Indonesia sampai ke Liga 2. Sebab nama ini juga disematkan oleh masyarakat sebagai nama dari stadion megah kebanggaan masyarakat Kabupaten Banjar dan Kalimantan Selatan yang selama ini menjadi homebase dari Martapura FC di Liga 2.

Selain  Martapura FC, stadion yang resmi dibuka sejak 2013 ini, juga pernah menjadi kandang Laskar Antasari, PS Barito Putera sekitar dua musim awal (2013-2014) ketika baru naik kelas ke Liga Super Indonesia dan kemungkinan begitu juga tiga musim ke depan, ketika Stadion 17 Mei Banjarmasin kembali direnovasi oleh Pemprov Kalimantan Selatan untuk dijadikan stadion megah bertaraf Internasional.

Baca juga: Rempah-rempah dari Meratus Kalimantan Selatan dan Kejayaan Perdagangan Kesultanan Banjar Abad 17-18

Siapa Demang Lehman?

Demang Lehman adalah seorang Panglima Perang Kesultanan Banjar di era Sultan Hidyatullah kebanggaan masyarakat Banjar dan Kalimantan Selatan. Sosok pejuang yang dalam catatan sejarah perjuangannya sama sekali tidak pernah mau kompromi dengan penjajah Belanda ini "sangat ditakuti oleh penjajah Belanda".

Sebagai bukti, setelah tertangkap di daerah Tanah Bumbu yang diwarnai fragmentasi dramatis yang sarat dengan tipu muslihat licik khas penjajah Belanda serta nafsu khianat pribumi yang haus harta dan tahta, tanggal 27 Februari 1864 Demang Lehman menghadapi hukuman mati dengan cara digantung di tengah Alun-alun kota Martapura.

Setelah selesai digantung dan dinyatakan meninggal, kepala pria kelahiran Barabai (sekarang ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah) yang saat itu berusia 32 tahun itu dengan kejam dipisahkan dengan badannya dengan cara dipenggal.

Tujuan pemenggalan ini, salah satunya karena ketakutan Belanda pada ketinggian ilmu dan kesaktian Demang Lehman yang dikhawatirkan bisa hidup lagi jika kepalanya tidak dipisahkan dengan badannya, sekaligus untuk melemahkan mental Kombatan pasukan kesultanan Banjar saat itu.

Tidak hanya itu, saking takutnya Belanda sekaligus untuk tidak menggelorakan semangat waja sampai kaputing kepada para pengikut Demang Lehman dan semua pasukan Kesultanan Banjar.

Sampai sekarang masih belum ada pengakuan resmi dari pemerintah Belanda terkait nasib jasad tanpa kepala dari panglima perang yang mempunyai nama asli Idies ini. Jadi tidak heran jika sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti letak makam dari mantan panakawan atau ajudan setia dari Pangeran Hidayatullah II tersebut.

Selain itu, kepala Demang Lehman yang pernah disayembarakan dan dihargai sangat mahal oleh penjajah Belanda kepada siapapun yang mampu membawanya, akhirnya dibawa Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden ke Belanda dan sampai sekarang masih "ditawan" di sana, sebagai bukti keberhasilan pasukan penjajah Belanda di Borneo menaklukan Panglima Perang Kesultanan Banjar yang paling licin, merepotkan, dan sekaligus paling menakutkan ini.

Kronologi penangkapan Demang Lehman secara detail termuat dalam Berita Acara Vonis Demang Lehman yang dibukukan Pemerintah Hindia Belanda dengan titel Verzameling Der Merkwaardigste Vonnissen Gewezen Door De Krijgsraden Te Velde In De Zuid En Ooster-Afdeeling Van Borneo, Gedurende de jaren 1859-1864 yang diterbitkan di Batavia oleh Landsdrukkerij tahun 1865.

Walaupun tetap diragukan dan dianggap sarat kontroversi oleh para sejarawan (karena dibuat sepihak oleh Penjajah Belanda), tapi arsip ini merupakan koleksi tentang vonis paling berkualifikasi yang diberikan oleh Dewan Perang, semacam Mahkamah Militer di wilayah Karesidenan Afdeeling Borneo bagian Selatan dan Timur, selama tahun 1859-1864.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun