Sejak saat itu Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural yang melekat pada masyarakat suku Banjar. Sampai sekarang, jejak-jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak jelas, baik dalam bentuk ritus adat (personal maupun komunal), falsafah kehidupan, hukum, tradisi dan juga berbagai peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.
Salah satu tradisi adat Kesultanan Banjar yang sampai sekarang masih menjadi inspirasi bagi Urang Banjar dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya terkait muamallah yang memungkinkan munculnya perseteruan, permusuhan ataupun persengketaan adalah adat badamai.
Adat yang sumber awalnya adalah Undang-Undang Sultan Adam 1835 (UUSA 1835)Â yaitu Undang-Undang Kesultanan Banjar yang terbit pada tahun 1835 diera kepimpinan Sultan Adam Al-Wastsiq Billah yang memerintah pada tahun 1825-1857, khususnya pasal Pasal 21 yang isinya adalah "Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja kusuruhkan membitjarakan mupaqat-mupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja itu lamun tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim"Â
Artinya, "Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada hakim" ini, sampai saat ini tetap menjadi landasan norma dan perilaku dalam masyarakat Banjar.Â
Bahkan sampai sekarang masih menjadi suatu tradisi mamatut, yaitu tradisi penyelesaian sengketa yang sudah melembaga untuk merukunkan kembali setiap pertikaian, sehingga tidak terjadi perasaan dendam  antara kedua belah pihak.
Menurut Prof. Dr. Ahmadi Hasan, M.H. cendekiawan dari UIN Antasari, Banjarmasin dalam disertasi doktoral beliau menyatakan, adat badamai adalah upaya penyelesaian sengketa secara damai yang dikerjakan atau dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi suatu kebiasaan yang lazim dan melembaga pada masyarakat Banjar.
Selain itu, adat badamai yang juga lazim disebut dengan babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut, baakuran atau juga penyelesaian dengan cara suluh, bisa dimaknai sebagai  hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah yang muncul.
Adat badamai, statusnya bisa naik menjadi hukum adat ketika masyarakat sudah menganggap perbuatan badamai itu sebagai suatu hal yang mesti berlaku pada masyarakat adat Banjar,  karena itu sebagai suatu yang mesti dilakukan.
Dipilihnya adat badamai sebagai bagian dari pranata sosial masyarakat adat suku Banjar tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Adanya mekanisme musyawarah untuk mendapatkan keputusan terbaik sebagai pilihan jalan keluar dari semua permasalahan masyarakat yang muncul, dianggap bisa menghindarkan perseteruan, persengketaan, permusuhan bahkan menghilangkan perasaan dendam antar masyarakat yang dapat membahayakan tatanan sosial masyarakat.
Selain itu, musyawarah juga dianggap sebagai media komunikasi yang efektif untuk mempererat silaturahmi sekaligus jalinan kekerabatan antar sesama warga masyarakat, sehingga akan semakin memperkuat sekaligus memperketat proses kontrol sosial yang diharapkan bisa menekan munculnya perseteruan, perselisihan ataupun persengketaan di lingkungan masyarakat, sehingga  adat Badamai ikut berperan menciptakan keamanan ketertiban dan perdamaian.Â
Merujuk pada posisi faktual adat Badamai dalam struktur budaya Urang Banjar, menjadi wajar ketika sampai saat ini masyarakat enggan menyelesaikan segala perseteruan, perselisihan atau persengketaan apapun itu melalui lembaga ligitasi (jalur lembaga peradilan), bahkan untuk urusan terkait pelanggaran lalu lintas sekalipun, atau bahkan terkait tindakan yang bisa mengarah ke pelanggaran pidana seperti perkelahian yang berujung pada penganiayaan .