Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kembalikan Saja ke Hati Nurani Masing-masing!

14 Mei 2019   10:03 Diperbarui: 14 Mei 2019   10:25 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi dan tangan yang dibawah adalah orang yang meminta." (HR. Bukhari no.1429, Muslim no.1033)

Keyakinan bahwa "tangan diatas (baca : memberi) jauh lebih baik daripada tangan dibawah (baca : menerima)" apalagi di bulan suci Ramadhan seperti sekarang ini dimana semua perbuatan / amalan, diyakini akan mendapatkan imbalan (baca : pahala) yang berlipat-lipat, sehingga saat ini menjadi waktu yang tepat untuk menempatkan "tangan diatas".

Sayangnya keyakinan "tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah" itu justeru dimanfaatkan secara keliru oleh oknum umat yang justeru berpikir "kalau semua tangan diatas (memberi), lantas siapa yang akan di bawah (menerima)", logis juga bukan!?

Hebatnya lagi, makna "tangan dibawah" juga digeser dari "menerima" menjadi "meminta". Ini yang jadi masalah, karena kata "meminta" sifatnya adalah kata kerja aktif sehingga ini akan menarik ruang bawah sadar untuk meng-aplikasikannya dalam alam sadar sebagai aktifitas yang aktif (baca : pekerjaan) juga, Ini jelas tidak bisa dibenarkan, mengeruk keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya meskipun harus melanggar berbagai norma-norma kehidupan bermasyarakat. Kenapa bisa begitu? Banyak faktornya! 

Fakta-fakta diatas, memunculkan dilema pada masyarakat dan pemangku kebijakan di pemerintahan dalam menyikapi kehadiran gepeng di lingkungannya. Beragam respon muncul ke permukaan, ada yang tidak mempermasalahkan, ada yang tidak peduli walaupun  nggerundel, tapi  ada juga yang secara formal- konstruktif menerbitkan peraturan daerah guna mengantisipasi berbagai masalah sosial yang mungkin terjadi terkait kehadiran gepeng. Bahkan di beberapa daerah, seperti di Sampang- Madura, ulama-ulama setempat yang tergabung dalam MUI mengeluarkan fatwa haram, terkait semakin maraknya gepeng dijadikan sebagai "profesi"

Berangkat dari fakta dan kajian diatas, bagaimana kita seharusnya menyikapi keberadaan gepeng dijalanan kota kita!? 

Saya tidak akan berpolemik, saya secara pribadi sepakat dengan pemikiran Cak Nun dalam bukunya "Jejak Tinju Sang Kiai", yang intinya menyatakan "memberi tanpa diminta itu lebih nikmat daripada memberi ketika diminta", betul nggak? 

Secara riil, ketika saya harus dipertemukan Allah SWT dengan peminta-minta di jalanan atau dimana saja, saya yakin semua bukanlah sebuah kebetulan semata, tapi sudah diatur untuk memberi hikmah. Untuk itu, saya lebih memilih untuk mengembalikan semuanya kepada hati nurani saya. Kalau feeling saya bilang kasih ya akan saya kasih, begitu juga sebaliknya, kecuali kalau saya berada di daerah khusus yang secara hukum memang mengatur ketentuan terkait masalah gepeng, seperti di DKI Jakarta.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun