Karena penasaran, sejak saat itu hampir tiap malam saya sengaja “mengintip” dan mencari tahu aktifitas mereka yang ternyata mencari makan ikan-ikan haruan (gabus) di kolong-kolong rumah panggung kami. Kadang mereka turun ke jalanan dalam jumlah besar sampai sekitar lima belas ekor termasuk membawa anak-anak mereka yang bisa dikenali tidak hanya dari ukuran tubuhnya saja, tapi juga dari suaranya.
Dari penuturan Pak Ahad juga saya mengetahui, kalau komplek perumahan tempat kami tinggal mulai berdiri sekitar tahun 2004 di lahan yang sebelumnya merupakan rawa-rawa Lebak alias rawa pasang surut yang juga dijadikan masyarakat sebagai lahan pertanian (sawah aktif) sekaligus sebagai tempat budidaya ikan keramba yang ternyata sejak dulu memang menjadi habitat si berang-berang. Jadi tidak heran jika sampai sekarang mereka masih suka mencari makan ikan yang terkurung si bawah kolong-kolong rumah kami.
Masyarakat asli di kampung ini, menurut Pak Ahad sudah biasa berinteraksi dengan binatang-binatang bercakar tajam yang suka merusak keramba jaring milik warga tersebut. Biasanya warga memilih menghindar jika berpapasan dengan gerombolan yang biasa keluar pada menjelang tengah malam ini.
Biawak (Varanus salvator)
Bagi warga Komplek tempat kami tinggal, keberadaan biawak si-kadal raksasa ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang istimewa, luar biasa apalagi menakutkan. Bagi kami, biawak layaknya burung gereja atau burung pipit yang banyak membuat sarang di lubang “angin-angin” rumah atau juga di plafon yang lubang atau terkoyak.
Hampir setiap saat dalam keseharian kami bisa bersua dengan biawak beraneka ukuran, dari anakan yang seukuran kadal di Banjar disebut dengan bingkarungan (kalau lagi apes mereka bisa dijadikan mainan sama anak-anak) sampai indukannya yang sebesar manusia dewasa.
Mereka biasa jalan-jalan di jalanan komplek, masuk ke pekarangan rumah, bahkan dalam beberapa kasus entah karena kesasar atau memang sengaja, mereka bisa juga menyelinap kedalam rumah bahkan ke dalam dapur, kamar mandi atau kamar tempat tidur.
Sayang, kebiasaan buruk mereka sebagai binatang pemakan daging alias karnivora seperti berang-berang yang biasa merusak dan memangsa ikan peliharaan masyarakat dalam keramba, bahkan burung, ayam hingga anjing dan kucing warga komplek, menyebabkan warga sering jengkel.
Berbeda dengan berang-berang, biawak lebih pemalu. Biasanya, sebesar apapun ukuran dan usia biawak akan memilih untuk kabur ketika “mendengar” ada kehadiran manusia di sekitarnya, apalagi jika harus berhadap-hadapan dengan manusia.
Repotnya, jika secara tidak sengaja kita harus bersua dengan biawak berukuran “jumbo” yang entah kesasar atau sengaja tengah asyik mengaduk-aduk dapur, seperti yang saya alami dulu. Saya terkejut dan si biawak juga terkejut.
Spontan, saya melompat keatas kursi dan si biawak lagi-lagi lebih memilih menghindar dengan mencoba untukkabur, tapi karena tidak ingat jalan keluar akhirnya si biawak justeru menabrak sana-sini, sehingga tenaganya yang luar biasa kuat bikin dapur jadi berantakan! Setelah bisa menguasai diri, baru saya meminta tolong kepada beberapa tetangga untuk melumpuhkan sekaligus mengeluarkan si biawak yang saya kurung di dapur.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!