Baca Juga :Â Singgah di "Kampung Jagung Manis" Bati-Bati, Tanah Laut
Pada dasarnya, diantara keduanya tidaklah jauh berbeda. Bahkan, secara materi keduanya bisa dibilang sama persis, yaitu sama-sama berisi nasi putih (dari beras unus mutiara) dan lauk berupa itik masak habang. Bedanya, kalau untuk nasi bungkus biasanya, warung atau kedai penjualnya tidak hanya menjual lauk itik masak habang saja, tapi juga lauk ikan haruan/gabus, hintalu itik/telur itik, hati dan ayam yang semuanya dimasak dengan bumbu masak habang, khusus untuk pembeli lauk itik masak habang, tentu tidak bisa memilih isi lauk itik masak habangnya. Situasi ini tentu berbeda dengan penikmat nasi itik habang untuk saji di piring, dimana pelanggan bisa memilih dan meminta bagian-bagian itik untuk lauk, mau potongan bagian paha, dada atau yang lainnya.
Diantara sekian banyak itu, sejauh ini terdapat dua nama warung atau kedai Nasi Itik Gambut yang paling dikenal masyarakat Banjar dan sekitarnya yaitu Warung Tenda Biru dan Warung Mama Baiti. Kedua warung ini tidak pernah sepi dari pelanggan baik pagi, siang maupun malam.Â
Baca Juga :Â Kegundahan di Balik Nikmatnya Nasi Kuning Dendeng Rusa, Khas Banjarmasin
Itu juga yang terjadi pada selera keluarga saya terhadap Nasi Itik Gambut. Orangtua saya, yang pertamakali memperkenalkan saya kepada Nasi Itik Gambut di awal tahun 2000-an, saat itu masih berupa sate itik (Gambut) bukan Nasi Itik Gambut seperti saat ini, sejak dulu mempunyai warung Nasi Itik Gambut langganan yang lokasinya di seberang jembatan sebelah kiri Pasar Kindai Limpuar yang halaman bagian depannya juga dimanfaatkan oleh sebagian pedagang ayam untuk menggelar dagangan.Â
Memasuki kedai yang tampak adem ayem ini, kita seperti dibawa berkelana ke warung-warung bahari (baca : jaman dulu) di era 70-80an yang banyak menonjolkan interior berbahan kayu yang semakin memperkuat kesan sederhana bangunan berkonstruksi kayu yang hampir semuanya dicat warna biru itu. Dinding bagian belakang warung yang juga terpasang meja kayu merupakan bagian yang paling menarik perhatian saya. Di dinding inilah ruang dialektika budaya dan agama bertemu di dalam warung atau kedai ini.