Kalimantan memang bumi yang penuh dengan pesona! Hutan hujan tropisnya tidak hanya diakui sebagai paru-paru dunia yang sangat berpengaruh terhadap komposisi kualitas udara yang menyelimuti permukaaan bumi, tapi juga menjadi rumah sekaligus ruang lindung dan konsevasi bagi ribuan bahkan mungkin jutaan plasma nutfah dari berbagai spesies tumbuhan atau hewan serta mikroorganisme endemik yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tentunya sangat bermanfaat bagi pembangunan nasional.
Baca Juga :Â Terpesona Lamin Adat "Lakeq Bilung Jau" di Kong Beng, Kutai Timur
Dari sisi budaya, hutan hujan tropis Kalimantan juga menjadi rumah sekaligus media aktualisasi dari ragam budaya anak bangsa yang tumbuh dan berkembang bersama kesahajaan alam khas hutan-hutan adat Kalimantan yang dipercaya masih menyimpan berbagai misteri.
Perjalanan panjang proses interaksi antara alam dengan budaya masyarakat Kalimantan membentuk kearifan lokal yang bersifat layaknya simbiosis mutualisma yang saling menguntungkan. Masyarakat adat bisa memanfaatkan keragaman hasil hutan secara bijaksana dan sebaliknya, karena sentuhan "bijaksana" masyarakat adat  hutan adat bisa lebih bermanfaat dan yang terpenting tetap terjaga kelestarian dan kemanfaatannya.Â
Di Kalimantan Selatan, salah satu wujud nyata kearifan lokal masyarakat yang benar-benar terlihat nyata sifat simbiosis mutualisma-nya bisa kita temukan pada budaya masyarakat Dayak Deah (ada juga yang menuliskan DayakDeyah) atau Dayak Tabalong karena sebagian besar tinggal di daerah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Timur.
Selain Suku Dayak Deah, di Tabalong juga dihuni oleh beberapa sub suku Dayak lainnya, yaitu Suku Dayak Maanyan dan Lawangan. Mereka bisa hidup rukun ditengah-tengah komunitas masyarakt Banjar yang menjadi mayoritas penduduk Tabalong.
Baca Juga :Â Mengenal Entitas Budaya "Jawa Gambut" di Kalimantan Selatan
Menurut wikipedia Suku Dayak Deah merupakan sub suku Dayak dari rumpun Ot Danum/rumpun Barito Raya dari kelompok Dusun yang mendiami desa Gunung Riut (Balangan) dan sebagian desa-desa di kecamatan Upau, Muara Uya, Haruai dan Bintang Ara yang terletak di bagian utara, Kabupaten Tabalong, provinsi Kalimantan Selatan.
Mengenai asal-usulnya, dari budaya tutur yang ada suku ini percaya asal usul mereka merupakan hasil migrasi dari wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara yang sekarang masuk wilayah Kalimantan Timur  ke wilayah Kalimantan Selatan.
Dalam bahasa Dayak Deah Kata "deah" sendiri berarti "tidak" , maksudnya merujuk pada kebiasaan masyarakat suku Dayak Deah yang tetap teguh menyatakan dirinya sebagai suku Dayak meskipun telah memeluk agama Islam. Hal ini menjadi pembeda dengan fakta beberapa individu dari masyarakat sub suku Dayak lainnya yang biasanya lebih memilih merubah identitasnya menjadi Melayu atau Suku Banjar jika telah masuk agama Islam.Â
Sejarah panjang interaksi masyarakat Dayak Deah dengan alam-nya secara berangsur membentuk sebuah harmoni yang begitu indah dan sangat inspiratif. Dari rahim "harmoni" inilah berbagai kearifan lokal masyarakat Dayak Deah yang bersentuhan langsung dengan alam itu akhirnya terlahir, terbangun dan tetap terpelihara sampai sekarang. Salah satu kearifan lokal paling menakjubkan dari masyarakat Dayak Deah ini adalah keberadaan produk baju dari kulit kayu pohon.
Baca Juga :Â Menikmati Musik Panting & Soto Banjar di Tepian Sungai Martapura Banjarmasin
Saya yakin, bagi masyarakat modern yang hidup dijaman millenial seperti sekarang, dimanapun dia berada mau tinggal di desa apalagi yang tinggal di kota-kota besar, tidak akan pernah terbersit sedikitpun bisa berkreasi membuat sepotong baju dari kulit kayu!? Betul?
Beruntung, beberapa waktu yang lalu saya sempat bertemu langsung dengan salah satu pengrajin kreasi baju adat Dayak Deah dari kulit kayu, yaitu Bapak Wencen atau Wincen warga Desa Desa Pangelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan dalam sebuah pameran budaya bertajuk Festival Pasar Terapung 2018.Â
Budayawan sekaligus pelaku seni Dayak Deah yang juga pemimpin sanggar seni Tatau Dayo ini memang punya garis keturunan dari leluhur Dayak Deah yang punya tradisi baju berbahan kulit kayu.
Menurut Pak Wincen, bahan utama pembuatan baju kulit kayu ini adalah kulit pohon Terap Hundang (Artocarpus odoratissimus), yaitu pohon yang berbuah mirip nangka tapi ukurannya lebih kecil dengan aroma buah yang wanginya kuat mirip cempedak yang biasa disebut oleh masyarakat Suku Dayak Deah dengan sebutan Kulit Kayu Deluang. Pohon yang tumbuh subur di hutan-hutan di daerah Tabalong ini masih satu marga baik dengan nangka (Artocarpus heterophyllus) maupun cempedak  (Artocarpus integer) yang dalam bahasa lokal Banjar disebut tiwadak.
Peralatan untuk membuat baju kulit kayu ini relatif sederhana, seperti palu dari kayu (urang Banjar menyebutnya tukul), mandau dan belayung (sejenis kapak tradisonal). Tidak semua batang pohon terap bisa dijadikan bahan pembuat baju, hanya batang pohon dengan ukuran diameter 10 cm keatas saja yang boleh dan bisa diambil kulitnya.Â
Baca Juga :Â Ke Banjarmasin, Belum Lengkap kalau Belum...
Inilah salah satu kebijakan masyarakat adat untuk menjaga kelestarian dari pohon terap itu sendiri. Intinya semakin besar diameter kayu deluang maka akan menghasilkan lembaran kain yang lebih lebar juga, artinya baju atau produk lain yang dibuat juga akan semakin banyak. Sebagai gambaran, dengan mengambil batang berdiameter 10 cm dengan panjang sekitar 1 meter, Pak Wencen bisa membuat 1 baju.
Sebagai gambaran, untuk mendapatkan 1 lembar kain untuk bahan 1 baju diperlukan waktu sekitar 2-3 jam untuk memipihkannya secara sempurna.Â
Menurut Pak Wencen, untuk membuat satu potong baju dari desain sampai jadi, tapi tanpa finishing (memberi bordir, kancing baju, untaian manik-manik kayu dan hiasan lainnya) membutuhkan waktu sekitar 3 jam.Â
Baca Juga :Â Banjarmasin, Kota 1.000 Pemadam Kebakaran
Untuk finshing pemberian corak adat sekaligus pemberian batas (fungsinya mirip obras pada tepi jahitan kain kayu deluang), biasanya Pak Wencen menambahkan aneka hiasan bordir/sulaman pada baju yang dibuat dengan menggunakan benang jahit biasa, kecuali ada pesanan dengan benang tertentu.Â
Pada jaman dahulu, sebelum masyarakat Dayak Deah mengenal benang jahit berbahan kapas, bordiran atau hiasan sulaman pada baju memakai benang yang terbuat dari serat daun nenas.
Walaupun disarankan menghindari kelembaban tinggi dan dominan, bukan berarti baju kulit kayu ini tidak bisa di cuci lho. Menurut Pak Wencen, kalau memang kotor bisa saja dicuci dengan air dan deterjen, tapi jangan terlalu sering dan cara mencucinya tidak dengan cara di kucek seperti kain pada umumnya, tapi dengan cara disikat pakai sikat dengan ujung bulu yang lembut dan  setelah itu di jemur seperti biasa.Â
Baca Juga :Â Membangun Ruang Publik Berbasis (Budaya) Sungai ala Kota Banjarmasin
Selain dibuat baju, rok wanita, rompi atau berbagai jenis pakaian lainnya, kain dari kulit kayu pohon terap hundang atau Deluang ini bisa juga dibuat berbagai souvenir dan kerajinan tangan lainnya seperti topi, tas, dompet, kipas dan banyak lagi yang lainnya.
Tertarik untuk mencoba keunikan baju nyentrik ini!? Yuk, jalan-jalan ke Kalimantan Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H