Situs bersejarah kawasan Kota Tua Jakarta atau Oud Batavia (Batavia Lama) dalam beberapa tahun terakhir telah menjelma menjadi destinasi wisata primadona masyarakat Jakarta dan sekitarnya.Â
Kawasan wisata murah meriah yang bisa dikunjungi selama 24 jam dan tanpa harus membayar karcis alias gratis. Wilayah ini merupakan pusat perdagangan di Asia yang dibangun pemerintahan kolonial Belanda, yang pada masanya merupakan pusat perdagangan besar melalui jalur pelayaran ayau jalur laut.
Landmark Kota Tua Jakarta merupakan kawasan wisata yang memiliki banyak tempat bersejarah yang sangat menarik untuk dikunjungi. Maka tidak heran jika kawasan yang memiliki luas sekitar  1,3 km persegi dan masuk dalam wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat ini selalu ramai pengunjung, terutama pada hari libur.
Selain murah meriah, Destinasi wisata Kota Tua Jakarta selalu diserbu pengunjung dari berbagai kalangan dan usia karena bisa dikategorikan sebagai tempat wisata yang lengkap.
Khususnya tentang bangunan-bangunan tua peninggalan VOC yang masih berdiri kokoh dengan label masing-masing sebagai museum bersejarah yang tentunya menyimpan beraneka macam keilmuan dan pengetahuan.
Di samping kanan Cafe Batavia berjajar aneka pedagang kuliner rakyat seperti bakso,  soto, mie ayam dan lain-lainnya, sedangkan di sekitaran lapangan  Fatahilah banyak sekali pedagang yang berjualan aneka barang, termasuk kulineran seperti gorengan, pecel, Es Krim dan Selendang Mayang juga siap menyegarkan tenggorokan ditengah terik Jakarta .
Selain kulineran, kreatifitas pelaku pariwisata di area wisata Kota Tua juga patut mendapat apresiasi, antara lain keberadaan sepeda ontel yang bisa disewa untuk berkeliling lapangan fatahilah, kreatifitas pesulap-pesulap jalanan serta para pengamen jalanan yang mempunyai skill luar biasa.
Disepanjang jalan Lada ini sampai mendekati Stasiun Kereta Api Jakarta Kota berjejer pedagang yang menjual aneka barang dagangan, tidak hanya kulineran rakyat saja.
Namun juga mainan anak-anak, baju-kaos, batu akik, aneka perhiasan aksesoris dan satu lagi yang paling menarik perhatian saya adalah aneka mainan anak-anak jadul alias jaman dulu yang terbuat dari bambu dagangan bapak-bapak setengah baya berbaju merah.
Sudah puluhan tahun saya tidak pernah bertemu apalagi memainkan aneka mainan anak-anak jadul  seperti gasing, seruling, otok-otok, pletokan, peluit bambu dan yang lainnya yang dulu di era awal-awal 80-an menjadi mainan favorit saya dan teman-teman.
Meskipun hampir semua mainan-mainan tersebut cara memainkannya bersifat individual, tapi unik dan anehnya! Dulu kami memainkanya selalu rame-rame alias secara komunal bersama dengan banyak teman-teman. Ini jelas berbanding terbalik dengan situasi terkini anak-anak jaman now yang lebih akrab dengan gadget.
Dalam gadget yang berisi aneka macam game atau permainan yang harus dilakukan secara komunal alias rame-rame, tapi riilnya di mainkan sendiri-sendiri bahkan dari tempat paling pribadi dan paling jauh dari dunia komunal yaitu di sudut kamar.
Karena tertarik sekaligus penasaran dengan aneka mainan anak-anak jadul yang secara bergantian terus dimainkan dan diperagakan oleh si Bapak yang ternyata asli dari Gunung Kidul, Jogjakarta tersebut.Â
Akhirnya saya memutuskan untuk duduk di hadapan si-bapak setengah baya yang mengaku bernama lengkap Pak Suparman tersebut. Sambil bertanya seluk beluk aneka mainan yang dijual Pak Parman, saya juga ikut mencoba beberapa jenis mainan yang puluhan tahun lalu sering saya mainkan itu.
Luar biasa! Ini sangat luar biasa bagi saya! Entah mimpi apa saya tadi malam, hari ini di salah satu sudut Kota Tua Jakarta yang penuh dengan catatan sejarah, tanpa diduga bisa bernostalgia dengan mainan-mainan unik masa lalu.
The Show Must Go On!  Sayang nostalgia saya siang itu bercengkerama dengan berbagai aneka mainan anak-anak jadul  harus segera berakhir. Dering Handphone yang berbunyi sejak tadi  menjadi alarm panggilan dari ketua rombongan agar segera berkumpul, karena rombongan writingthon akan melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata selanjutnya.
Saya ingin ikut berpartisipasi aktif untuk melestarikan aneka mainan-mainan yang sangat mengasyikkan saat dimainkan itu. Caranya? Mungkin saat ini dimulai dengan membeli barang-barang dagangan Pak Suparman, masing-masing satu buah per-jenisnya untuk koleksi sekaligus buah tangan. Ini sebagai  media perkenalan bagi anak-anak saya di Banjarmasin dan yang terpenting, tidak usah menawar harganya yang hanya berkisar antara 7000-10.000 tersebut.
Anda ikut tertarik untuk bermain? Singgah saja ke Jalan Lada di seputar Destinasi Wisata Kota Tua Jakarta. Di sepanjang jalan itu, biasanya Pak Suparman tidak henti-hentinya memperagakan cara memainkan aneka mainan anak-anak tradisonal berbahan bambu tersebut secara bergantian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H