Populasi Rusa Bawean di habitat aslinya saat ini sungguh mengkhawatirkan. Menurut data BKSDA Jawa Timur, tahun 2016 populasinya tinggal 303 ekor tersebar di berbagai lokasi hutan dan semak-semak lebat berbukit-bukit, ciri khas Pulau Bawean yang secara keseluruhan luasnya mencapai 196.3 km2.
IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) organisasi internasional yang bergerak untuk stratifikasi konservasi sumber daya alam di dunia yang berpusat di Gland, Switzerland ini, melalui IUCN Red List sejak tahun 2008 memasukkan Rusa Bawean dalam kategori "Kritis" (CR atau Critically Endangered) atau "sangat terancam kepunahan".
Selain itu CITES(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam sebagai perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota IUCN tahun 1963, juga mengategorikan spesies Rusa Bawean sebagai "Appendix I", artinya Rusa Bawean termasuk spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.
Rusa Bawean pertama kali diidentifikasi pada tahun 1845 sebagai  Hyelaphus Kuhlii. Sayangnya, setelah periode ini tidak ada catatan resmi terkait keberadaan Rusa Bawean.  Catatan tertua yang ditemukan adalah data tahun 1934 yang menyebutkan bahwa gangguan terberat habitat rusa Bawean, selain karena perburuan oleh manusia akibat paceklik di tahun 1948 dan serangan anjing hutan/anjing liar, sebenarnya terjadi karena proses deforestasi akibat penanaman Pohon jati (Tectona garandis) di lahan bekas hutan Pulau Bawean dan celakanya terulang kembali sekitar tahun 1960-an ketika hutan yang tersisa kembali ditebang untuk ditanami pohon jati.
Sementara itu, survei dari September 1977 - Mei 1979, dilaporkan bahwa populasi rusa Bawean pada saat itu antara 200-400 ekor. Berangkat dari hasil survei inilah akhirnya beberapa kawasan di Pulau Bawean seluas 3.831,6 hektar sejak 1979 dijadikan Suaka Margasatwa (SM)
Secara morfologi, ciri-ciri umum Rusa Bawean adalah sebagai berikut, warna bulu dominan cokelat, tinggi untuk jantan berkisar antara 60-70 cm, panjang ekornya 20 cm, panjang dari kepala dan tubuh 140 cm. Dengan tubuhnya yang "mungil", Rusa Bawean terkenal sebagai pelari yang ulung. Bobot dewasa 50-60 kg. Pejantannya memiliki tanduk bercabang tiga yang dapat tumbuh sepanjang 25-47 cm. Tanduk ini dipergunakan pejantan untuk menarik perhatian betina ketika musim kawin dengan cara bertarung dengan rusa jantan lainnya.
Mengingat, populasinya yang sangat rendah dan area sebaran yang juga sangat terbatas, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai upaya riil untuk melindungi Rusa Bawean dari kepunahan. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Upaya konservasi terus dilakukan oleh BKSDA Jatim selaku pengelola Cagar Alam dan Suaka Margasatwa pulau Bawean dengan tujuan untuk tetap mempertahankan populasinya di alam, antara lain dengan kegiatan inventarisasi dan pembinaan habitat, operasi terhadap perburuan satwa liar dan gangguan hutan serta penyuluhan terhadap masyarakat disekitar kawasan.
Sejak tahun 2003, terletak di kawasan perbukitan di Pudakit Barat, Kecamatan Sangkapura, berdiri penangkaran rusa yang dikelola oleh BKSDA Jawa Timur. Di lahan seluas sekitar 4 hektar itu, Rusa Bawean di kembang biakkan secara intensif.