Pada burung jantan, berukuran relatif besar dengan ukuran panjang rata-rata 40-an cm, dihiasi bulu-bulu panggul yang besar dan menjuntai dengan warna kuning yang cantik, selain itu juga punya sepasang ekor kawat yang panjang. Untuk burung betina, umumnya berbulu cokelat marun dan tidak mempunyai garis.
Karena keindahan konfigurasi warna dan tekstur bulunya, meyebabkan si burung surga ini mempunyai nilai komersil yang sangat tinggi, sehingga banyak diburu oleh manusia baik untuk dipelihara ataupun untuk diawetkan sebagai hiasan yang mahal dan mewah.
Tingginya perburuan liar di alam tanpa upaya penangkaran yang seimbang serta ruang habitat asli berupa hutan dataran rendah dan perbukitan yang seharusnya menyediakan sumber makanan berupa biji-bijian dan serangga-serangga kecil semakin menyempit akibat perkebunan dan pemukiman, menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelestarian burung cendrawasih di alam.
Karenanya, pemerintah merasa perlu untuk membuat regulasi terkait upaya perlindungan terhadap si-burung surga dari kepunahan yang tertuang dalam UU No-5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya dan PP RI No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pertama, Terkait penamaan ilmiah Paradisaea apoda yang berarti burung surga tanpa kaki. Istilah apoda dalam bahasa Latin berarti tanpa kaki. Carolus Linnaeus, memberi nama belakang apoda pada nama ilmiah Cenderawasih Kuning Besar karena pada awal perdagangannya di Eropa, produk awetan burung ini dikirim tanpa kaki karena sudah dipotong oleh masyarakat pribumi. Hal ini menyebabkan salah paham, masyarakat Eropa pada saat itu mempercayai, burung cenderawasih memang tidak memiliki kaki dan selalu terbang tidak pernah menyentuh tanah sampai mati, karena burung ini adalah pengunjung dari surga yang melayang-layang di udara.
Kedua, Pada tahun 1909-1912, William Ingram mencoba untuk menyelamatkan si-burung surga ini dari kepunahan akibat perburuan dengan cara melakukan inroduksi atau memasukkan suatu jenis hewan atau tumbuhan ke dalam satu habitat yang baru di pulau Tobago Kecil di Karibia. Sayang, proses introduksi ini hanya bertahan sampai tahun 1958 saja.
Karakter maskot Atung diadaptasi dari seekor Rusa Bawean (Hyelaphus Kuhlii) sebagai presentasi dari kecepatan, karena satwa endemic di Pulau Bawean sekitar 150 km lepas pantai Kota Gresik, Jawa Timur ini terkenal dengan kelincahan dan larinya yang super kencang. Atung merupakan representasi dari keragaman Indonesia di wilayah tengah.
Dalam penampilannya sebagai maskot ASIAN GAMES 2018,  Atung mengenakan sarung dengan motif tumpal khas Betawi atau DKI Jakarta. Meskipun pakai sarung, kegesitan dan larinya si Atung dijamin tidak akan terganggu kok…
Rusa Bawean merupakan binatang langka asli Indonesia yang habitat aslinya hanya di Pulau Bawean, pulau kecil di laut Jawa atau lepas pantai Gresik yang daratannya berbukit-bukit dengan ketinggian 400-646 m dpl. Pulau yang didominasi oleh vegetasi semak-semak lebat ini masih masuk bagian dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Â