Budaya Sungai, Trademark Masyarakat Banjar
Jalan-jalan ke Kalimantan Selatan, sepertinya belum lengkap kalau belum bersentuhan dengan dunia air-nya! Kenapa harus dunia air? Sudah menjadi rahasia umum, kalau Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang wilayahnya lebih banyak didominasi oleh lahan basah dataran rendah baik berupa rawa-rawa lebak maupun daerah aliran sungai (DAS) berbagai ukuran. Maka tidak heran jika masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya suku Banjar sebagai penghuni mayoritas sejauh ini lebih dikenal dengan budaya air/sungainya.Â
Keelokan pasar terapung Sungai Kuin atau Pasar Terapung Lok Baintan, asyiknya jelajah susur sungai menyambangi habitat bekantan (Nasalis larvatus) atau si monyet Belanda yang berhidung mancung di Pulau Bakut atau Pulau Curiak, keunikan kerbau rawa (bubalus bubalis) Danau Panggang (di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang juga digelari negeri diatas air, karena 70% wilayahnya berupa perairan rawa-rawa), asyiknya bamboo rafting atau masyarakat Banjar menyebutnya dengan balanting di Sungai Amandit!? Semua yang tersebut diatas merupakan icon pariwisata Kalimantan Selatan dan semuanya berbasis dunia air, alias sungai atau rawa-rawa. Itu saja? Tentu tidak...
Budaya air masyarakat Banjar, tidak hanya berhenti pada eksotisme destinasi wisata alam dan budaya berbasis air atau perairan saja! Masih banyak, aspek kehidupan eksotis masyarakat yang berhubungan dengan dunia air, salah satunya adalah kuliner.Â
Kecuali Soto Banjar, sebagian besar kuliner nyaman asli banua Banjar berbahan dasar lauk dari sungai, seperti ikan haruan dan tauman (keduanya sama-sama keluarga ikan gabus), patin, sapat siam, papuyu (betik/betok). Jadi jangan heran jika berkesempatan mencicipi kuliner khas Banjar, sangat jarang sekali bertemu dengan elemen sayur-sayuran, apalagi sayur-sayuran segar untuk lalapan. Tapi jangan salah, meskipun tanpa sayuran kuliner khas Banjar tetap memberikan sensasi citarasa berkelas dan dijamin nempel di lidah dan di hati! Mau Coba? Yuk Jalan-jalan ke Banjarmasin.
Bagi Wisatawan baik macanegara atau lokal yang berkunjung ke Kalimantan Selatan, berbagai destinasi wisata "familiar" yang saya sebutkan diatas mungkin sudah biasa, walaupun tetap ngangeni  dan selalu ingin kembali menengoknya! Bagi yang ingin merasakan sensasi petualangan unik dan berbeda, sepertinya wisata menyusuri rawa-rawa dangkal yang juga menjadi areal persawahan pasang surut, sekaligus melakukan aktifitas maiwak, maunjun (bhs banjar ; memancing), mambanjur, manangguk atau malukah (memanen ikan dari alat jebakan) dijamin akan memberikan pengalaman unik, merasakan langsung tradisi budaya masyarakat Banjar dalam menangkap ikan.
Sensasi menyusuri rawa dan memanen ikan segar (Video : youtube/kaekaha)
Seperti sore tadi, ketika tengah asyik menikmati munculnya jalan bidadari untuk turun ke bumi alias si pelangi di areal persawahan di belakang komplek perumahan tempat saya tinggal, kebetulan ada Pak Ohir salah satu legenda yang dikenal piawai maiwak di kampung kami. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan ajakan beliau untuk maumpati sidin (bhs banjar ; mengikuti beliau) menyusuri rawa-rawa lebak yang kedalamannya bervariasi antara 50cm -1m tersebut.
Berdasarkan pengalaman, menurut Pak Ohir, untuk rawa-rawa dengan kedalaman sampai 50-70cm biasanya dihuni ikan sapat, sapat siam, emas dan papuyu/ betok dengan ukuran maksimal sebesar 3-4 jari orang dewasa. Sedangkan untuk rawa yang lebih dalam jenis ikanya bisa lebih beragam  seperti haruan (Channa striatus) /tauman (Channa micropeltes), patin (Pangasius pangasius), sapat siam (Trichogaster pectoralis) dll dengan ukuran yang biasanya relatif lebih besar.
Memanen ikan dari alat perangkap (Video : You tube/kaekaha)
Kebetulan sore ini, Pak Ohir sengaja hanya memanen ikan dari beberapa alat perangkap ikan yang ditaruh di rerimbunan koloni tanaman kangkung dengan kedalaman rawa antara 40-70cm saja. Benar saja keterangan Pak Ohir, dari perangkap yang dipasang kami memang hanya mendapatkan beberapa jenis ikan rawa dangkal seperti  ikan sapat (Trichogaster trichopterus), sapat siam (Trichogaster pectoralis), emas (Cyprinus carpio) dan papuyu/ betok (Anabas testudineus) dengan ukuran paling besar seukuran 3 jari orang dewasa, tapi jumlahnya lumayan banyak, rata-rata hampir 1kg per/perangkapnya.Â
Uniknya, Pak Ohir ternyata melepaskan kembali anak-anak ikan yang ikut terperengkap alat jebakannya, dengan alasan biar tumbuh besar dulu dengan makanan alami. Wooooow.....
Di musim kemarau, rawa-rawa dangkal yang sekarang kami jelajahi biasanya kering kerontang, bahkan di beberapa bagian biasa dijadikan lapangan bola oleh masyarakat sekitar. sedangkan ikan-ikan yang tersisa biasanya akan mengikuti aliran air yang biasanya menuju rawa dalam.
Inilah salah satu kearifan lokal guna menjaga keberlangsungan hidup ekosistem rawa lebak di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan secara umum. Sehingga ketika musim penghujan, ketika rawa-rawa lebak mulai ditanami padi maka ikan-ikan akan kembali membanjiri rawa-rawa dan siap untuk di panen kembali oleh Pak Ohir dan masyarakat lainnya.
Kesahajaan alam yang telah dan selalu memberi dan menyediakan kehidupan untuk kita, seharusnya menjadi contoh bagi kita semua untuk bersikap lebih arif dan bijaksana pula dalam memanfaatkan semua yang disediakan oleh alam dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangannya.Â
Salam hijau, salam lestari dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan! Yuk, jalan-jalan asyik ke Banjarmasin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H