Jawa Gambut dan Komodifikasi Budaya Jawa di Tanah Seberang
Sampai saat ini suku Jawa merupakan pendatang terbesar yang bisa eksis berakulturasi dengan budaya suku Banjar di Kalimantan Selatan, sehingga tidak heran, jika kehadirannya ikut membawa perkembangan paras sosial budaya masyarakat di Kalimantan Selatan.Â
Generasi awal masyarakat Jawa berikut keturunannya yang tersebar di Kalimantan Selatan, beraktivitas pada sektor informal, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, UMKM dsb. Mereka dikenal luas sebagai pekerja keras dan pantang menyerah! Sementara untuk generasi berikutnya, seiring dengan berjalannya proses akulturasi dan perbaikan sosial ekonomi bisa lebih fleksibel untuk memilih aktifitas/pekerjaan.
Dari generasi pertama sampai yang kesekian, sebagian besar pendatang dari Pulau Jawa tetap mempertahankan ciri budaya dan tradisi nenek moyangnya di Pulau Jawa. Secara umum mereka masih ngugemi budaya Jawa, minimal tetap menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dalam percakapan di lingkungan keluarga, uniknya mereka umumnya juga bisa melafalkan dialek bahasa Banjar sesuai tempat lahir dan tumbuhnya dengan baik dan fasih.Â
Bahasa Banjar, sejauh ini dikenal mempunyai beberapa dialek, diantaranya adalah dialek pahuluan di gunakan masyarakat Kalimantan Selatan Bagian utara (Banua Anam) yang meliputi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Tabalong dan Kabupaten paling muda, Balangan. Sedangkan dialek Banjar Pesisir yang sudah banyak dipengaruhi oleh berbagai dialek pendatang di gunakan di Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, dan Kota Banjarmasin.
           wayang kulit Banjar (Video : Youtube-Lagu Banjar)
Di ranah seni budaya, khususnya di daerah yang telah lama dikenal menjadi kantong-kantong masyarakat Jawa berikut keturunannya, seperti di Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Barito Kuala seni budaya Jawa seperti pertunjukan wayang kulit, seni jaranan, ludruk, campursari, termasuk berbagai kuliner khas masyarakat Jawa relatif masih mudah di jumpai di berbagai tempat.Â
Begitu juga berbagai tradisi budaya seperti tradisi temu manten, piton-piton bayi, tradisi methil atau selamatan panen padi semuanya masih ada dan terjaga sampai saat ini, hanya saja prosesi dan uba rampe-nya (perlengkepannya) tidak selengkap layaknya di kampung halaman, tanah Jawa, sebagian memang sudah mengalami komodifikasi alias tidak 100% ontentik lagi dengan aslinya.Â
Mungkin, inilah salah satu konsekuensi dari berlangsungnya proses akulturasi budaya dalam masyarakat Jawa di Kalimantan Selatan, dimana didalamnya terjadi komodifikasi terhadap tatanan budaya yang sudah ada karena adanya berbagai kompromi untuk menyesuaikan ruang dan waktu yang ditempati sekarang.