Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memasyarakatkan, Pentingnya Tes Buta Warna Sejak Dini

24 Mei 2016   02:24 Diperbarui: 24 Mei 2016   07:59 2944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
3 Tulisan terpilih (Grafis : citizen6.liputan6.com)

Kelainan atau cacat bawaan yang satu ini tergolong unik!  Berbeda dengan bentuk-bentuk kelainan organ fisik manusia lainnya yang obyek kelainannya maupun efeknya biasanya bisa dirasakan oleh si-penderita, sedangkan dari sisi visualitas, umumnya kelainan fisik bisa terlihat atau teridentifikasi oleh orang-orang di sekitarnya. 

Hal ini tidak berlaku bagi kelainan buta warna! Jangankan orang lain, penyandangnya atau penderitanya sendiri banyak yang tidak menyadarinya sebelum akhirnya berbenturan dengan moment-moment penting dan menentukan saat ingin  melanjutkan pendidikan atau mendaftar kerja, karena kelainan buta warna haram hukumnya bagi jalur pendidikan berbasis eksakta, seperti pendidikan kedokteran, teknik, pertanian,  dsb. 

Otomatis, aturan ini juga berlanjut alias berlaku juga untuk bidang pekerjaan yang berbasis pada dunia eksakta tersebut, tidak tekecuali untuk mendaftar menjadi anggota TNI dan Polri.

Apasih buta warna itu? Buta warna adalah kelainan pada organ mata yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap spektrum warna tertentu yang disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan. (wikipedia). Intinya, pada penyandang kelainan buta warna, organ mata tidak bisa membedakan jenis warna-warna tertentu.

Berangkat dari fakta di atas plus pengalaman pribadi saya dan beberapa sahabat yang "kebetulan" menjadi saksi hidup dari sebuah fragmentasi kehidupan berlatar belakang kelainan buta warna yang kebetulan (lagi) memberi ending tidak mengenakkan. Sejak saat itu saya berniat untuk mengampanyekan atau memasyarakatkan pentingnya tes buta warna sejak dini bagi anak-anak Indonesia. Kenapa sejak dini?  Berikut sedikit gambaran fragmentasi berlatar buta warna yang saya sarikan dan kembangkan dari sebuah cerpen “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)"

Contoh persyaratan penerimaan mahasiswa baru ( Grafis : hasilsnmptn.blogspot.co.id)
Contoh persyaratan penerimaan mahasiswa baru ( Grafis : hasilsnmptn.blogspot.co.id)
Pertama : 

Setelah dinyatakan menyandang buta warna, secara otomatis status saya yang diterima tanpa tes di salah satu Fakultas eksakta otomatis gugur! Memang, saya diberi kesempatan untuk bebas memilih meneruskan pendidikan di fakultas non eksakta seperti ekonomi, sospol, sastra atau hukum, tapi karena basic pendidikan dan minat saya tidak ke arah non eksakta tetap saja ini pilihan sulit bagi saya. 

Sedikit frustasi dan mencoba menghibur diri, saya sempat ingin mencoba test di Fakultas teknik di salah satu perguruan tinggi ternama di Kota Malang. Sebelum mendaftar, saya mencoba berdialog dengan panitia penerimaan mahasiswa baru program diploma teknik tentang kemungkinan masuknya penyandang buta warna seperti saya. 

Si bapak, menyarankan saya untuk memilih D3 Teknik sipil diantara 7 program studi yang tersedia, dengan alasan untuk program studi teknik sipil kemungkinan masih ada toleransi. Tapi, menurut si bapak, seandainya dalam tes tulis akademik ternyata nilai saya sama atau selisih sedikit dengan yang tidak buta warna kemungkinan besar posisi saya akan tergeser dengan yang tidak buta warna! Akhirnya, saya memilih tidak melanjutkan mendaftar, karena menurut saya akan sia-sia saja.

Kedua :

Sejak kecil Bintang bercita-cita menjadi dokter. Sejak mempunyai cita-cita besar yang tentunya mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya itu, Bintang dan semua orang yang ada di sekitarnya seperti kompak, bersatu padu memberikan ruang dan waktu yang kondusif untuk mengakomodir cita-cita besar Bintang menjadi dokter. 

Dari hari ke hari, waktu ke waktu, niat dan tekad Bintang  semakin bulat, berusaha semaksimal mungkin untuk terus menjaga, membangun sekaligus memperjuangkan mimpi dan cita-citanya menjadi dokter. Begitu juga dengan kedua orang tuanya! Ibaratnya, beliau berdua tidak lagi segan menjadikan kaki sebagai kepala dan kepala menjadi kaki demi mendukung cita-cita besar putranya si-Bintang. 

Tapi sayang, semuanya menjadi berantakan dan harus hancur lebur berkeping-keping justru ketika satu kaki Bintang sudah menginjaknya. Bintang memang diterima di salah satu fakultas kedokteran di salah satu perguruan tinggi ternama melalui jalur tes akademik tertulis, sayang Bintang akhirnya harus mengubur cita-cita besarnya, karena saat tes kesehatan dinyatakan menyandang kelainan buta warna! 

Spirit untuk penyandang buta warna (Grafis : yafiselon.blogspot.co.id)
Spirit untuk penyandang buta warna (Grafis : yafiselon.blogspot.co.id)
Sebagai manusia biasa, saya kira wajar ketika saat itu hati Bintang hancur lebur. Sebagai manusia, Bintang merasa tidak berguna! Kecewa itu sudah pasti! Selain cita-cita yang sudah dibangun, persiapkan sekaligus perjuangkan sejak kecil menjadi sirna, Bintang juga merasa telah mengecewakan kedua orang tuanya yang telah susah payah bekerja keras mendukung semua langkahnya. 

Tapi yang paling membuat Bintang kecewa, bukan hanya karena menyandang buta warna saja, tapi juga karena tidak adanya akses formal dalam sistem perencanaan pendidikan kita yang memberikan wawasan dan aplikasi test buta warna sejak dini, sehingga blueprint potensi besar anak-anak Indonesia, termasuk si-Bintang bisa terpetakan sejak dini pula. Secara logika, seandainya si-Bintang sejak awal menyadari dan mengetahui statusnya sebagai penyandang buta warna, tentu dia "tahu diri" untuk tidak memaksakan dirinya bermimpi setinggi langit apalagi mengejarnya pula!

Kemungkinan lainnya, energi dan waktu yang dimiliki bisa dimanfaatkan lebih efektif dan efisien untuk membangun dan merengkuh mimpi yang lain yang lebih sesuai dengan statusnya sebagai penyandang kelainan buta warna, dengan begitu "kerugian" material dam non material bisa dihindari sejak dini pula. 

Kalau sudah terlanjur begini, nasi mungkin telah menjadi bubur! Waktu yang sudah dilewati tidak mungkin diputar kembali untuk merevisi cita-cita sekaligus memperjuangkannya kembali, sementara untuk merubah haluan dengan membangun cita-cita baru tentu bukan tanpa resiko dan pilihan ini pun juga bukan perkara yang mudah bukan? 

Aplikasi test butawarna 18 plate (Grafis : lcncenter.com)
Aplikasi test butawarna 18 plate (Grafis : lcncenter.com)
 

Permasalahan seputar kelainan buta warna berikut pemberdayaan bagi penyandangnya, sepertinya memang belum masuk dalam skala prioritas perhatian pemerintah melalui lembaga terkait seperti Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Sosial dan atau departemen lainnya yang membidangi pemberdayaan SDM masyarakat. 

Buktinya, ya munculnya fenomena-fenomena faktual di masyarakat seperti kisah Bintang diatas yang saya yakin keberadaannya seperti fenomena "gunung es" alias hanya nampak bagian puncaknya saja, sedang  bagian tengah dan kaki gunung yang lebih tambun tertutup oleh indahnya biru samudra! 

Selain itu, dengan tidak adanya sosialisasi menyebabkan masyarakat Indonesia relatif tidak familiar, bahkan bisa jadi tidak mengenal seluk beluk kelainan buta warna berikut konsekuensi bagi penyandangnya. 

Padahal, seandainya pemerintah secara formal menjadikan aplikasi tes buta warna sejak dini kepada semua anak-anak Indonesia, maka hasil test bisa dijadikan sebagai dasar bagi pemetaan potensi SDM masyarakat Indonesia di masa yang akan datang dan ini akan membantu orang tua dan pemerintah sendiri dalam upaya merencanakan sekaligus mengarahkan pilihan jalur pendidikan yang tepat dan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu anak-anak Indonesia, sehingga kemungkinan salah memilih cita-cita seperti si Bintang tidak akan terjadi lagi! 

Coba bayangkan, Seandainya tiap tahun di Indonesia ada 1.000 saja generasi emas bangsa ini dari seluruh penjuru tanah air yang bernasib sama seperti Bintang yang salah memilih cita-cita karena buta warna, tentu bangsa Indonesia telah rugi besar! Kehilangan banyak generasi emas yang semestinya potensi dan kemampuannya bisa diarahkan dari awal sehingga kedepan bisa diberdayakan untuk pembangunan Indonesia sesuai dengan potensi dan bidang kemampuannya masing-masing.

Ada yang bisa baca? (Foto : Koleksi Pribadi)
Ada yang bisa baca? (Foto : Koleksi Pribadi)
Untuk aplikasi tes buta warna, menurut saya bisa dimulai sejak kelas 2 atau 3 SD atau paling lambat kelas 6 SD, dengan asumsi dan pertimbangan siswa kelas 3 atau 4 SD sudah bisa mengenali angka dan huruf secara baik, hal ini berkaitan dengan aplikasi tes buta warna yang dikenal dengan test Ichihara yang memakai metode mengenali angka/huruf dan di usia-usia itu bagi orang tua atau guru yang sudah mempunyai peta potensi anak didik bisa memulai menanamkan sebanyak-banyaknya wawasan cita-cita/profesi yang relevan di alam bawah sadar anak-anak dengan menyesuaikan tingkatan usia atau kelasnya.

Tes buta warna, seharusnya memang menjadi domain dari praktisi kedokteran khususnya spesialis mata. Hal ini terkait dengan data-data medis yang mungkin diperlukan. Misalkan, jika seseorang dinyatakan buta warna parsial. 

Bila diperlukan dokter mata bisa merincikan lebih detail masuk parsialnya di warna apa? Tapi karena fakta kebutuhan di lapangan, tidak pernah memerlukan data spesifikasi buta warna jenis apa dari dokter, tapi justeru sebaliknya meminta keterangan tidak buta warna. Di lapangan, buta warna ya buta warna, tidak ada toleransi apapun! Maka, menurut saya tes buta warna mandiri bisa dilakukan siapa saja. Jadi menurut saya sangat penting bahkan sangat perlu untuk memasyarakatkan tes buta warna sejak dini kepada masyarakat.

3 Tulisan terpilih (Grafis : citizen6.liputan6.com)
3 Tulisan terpilih (Grafis : citizen6.liputan6.com)
Saya telah beberapa kali berusaha mewujudkan mimpi saya untuk memasyarakatkan test buta warna kepada masyarakat Indonesia. Berbagai cara yang saya mampu telah saya lakukan. 

Sebelum media internet berikut produk turunannya seperti media sosial berkembang seperti sekarang, saya telah memulai dengan menulis artikel di media cetak khususnya koran dan ketika saya masih aktif siaran di salah satu jaringan radio swata ternama di Banjarmasin di pertengahan tahun 2000-an saya sudah sering menyisipkan tematik kelainan buta warna dalam berbagai kemasan, seperti dalam dialog dengan tema khusus dan  adlib (ad libitum)  atau iklan yang diucapkan dengan spontan dan full improvisasi. 

Setelah, era internet dan media sosial merebak, saya membuat grup buta warna di beberapa media sosial, menulis artikel via blog dan salah satu yang menurut saya paling menjajikan, saat itu adalah ketika ide saya untuk membuat start up tentang buta warna dengan nama ButawarnaIndonesia.com yang bersifat sosial alias gratis...tis...tis mendapatkan apresiasi dalam sebuah lomba ide start up yang diselenggarakan oleh media official dari acara Startup Asia Jakarta 2013 yang saat itu di sponsori oleh Tech In Asia. 

Di situ, selain mendapatkan kesempatan untuk presentasi dihadapan para investor dan pengembang, saya juga bisa banyak belajar dari beberapa founder start up ternama di level asia. 

Memang ada beberapa yang merespon ide saya, baik via telepon maupun email, tapi karena ada beberapa perbedaan visi dan beberapa kendala teknis akhirnya respon dari beberapa pihak yang memberi apresiasi ide saya akhirnya berhenti ditengah jalan dan sayangnya lagi, respon dan apresiasi pemerintah yang saya tunggu-tunggu tidak pernah muncul sampai sekarang! Padahal menurut saya, pemerintah sangat berkepentingan dengan masalah ini. 

Saya berpikir, siapa lagi yang bisa diharapkan untuk memasyarakatkan tes buta warna sejak dini kalau bukan kita-kita? Kalau perlu kita bisa keliling Indonesia untuk sosialisasinya! Ada yang mau ikut? Atau paling tidak mau jadi sponsor?  Atau mungkin ada dokter spesialis mata, pengembang dan investor yang berminat membantu saya mewujudkan butawarnaindonesia.com yang bersifat murni sosial?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun