Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

[Wisata Banua] Jembatan Gantung Tandipah, Mengantarku Pulang dari Pasar Terapung Lok Baintan

16 Mei 2016   00:40 Diperbarui: 16 Mei 2016   08:21 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memasuki kampung Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)

Melanjutkan catatan [Wisata Banua] Menemukan "Pasar Terapung Lok Baintan" dari Jalur Darat yang saya posting minggu lalu, kali ini saya akan melanjutkan catatan perjalanan saya memngeksplorasi jalur darat menuju destinasi wisata pasar terapung Lok Baintan di Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, khususnya untuk jalur pulang menuju Kota Banjarmasin. 

Untuk menuju pulang ke Kota Banjarmasin yang berjarak sekitar 10 km dari Lokasi Pasar terapung di bawah Jembatan Gantung Lok Baintan, saya sengaja mencari jalan alternatif yang belum banyak terekspos. Saya memilih jalan untuk menyusuri sungai yang posisinya berseberangan dengan jalan saya berangkat menuju Pasar terapung Lok Baintan. Jadi untuk menuju jalan tersebut, saya harus menyeberangi jembatan gantung Lok Baintan.

Menyeberang Jembatan Gantung Lok Baintan (Video : Youtube kaekaha)

Setelah menyeberangi jembatan gantung, saya mengambil arah ke kiri memasuki perkampungan tepi sungai menuju arah desa Tandipah. Suasana pedesaan khas tepi sungai Kalimantan langsung menyapa saya. 

Hunian berupa rumah semi panggung yang terbuat dari kayu dengan atap sirap atau seng banyak mendominasi, hanya beberapa bangunan semi panggung dengan dinding semen yang terlihat. Itupun bagian pondasinya tetap dari kayu ulin atau kayu besi.  Meskipun kampung ini tidak terlalu padat dan relatif sepi,  tapi aktivitas warga dengan budaya sungainya tetap sesekali terlihat.

Perkampungan tepi sungai (Foto : Koleksi Pribadi)
Perkampungan tepi sungai (Foto : Koleksi Pribadi)
Jukung melintas di sebelah rumah di tepian sungai (Foto : Koleksi Pribadi)
Jukung melintas di sebelah rumah di tepian sungai (Foto : Koleksi Pribadi)
Jalanan yang saya lewati kurang lebih masih sama dengan tipikal jalanan yang saya lewati pada waktu berangkat menuju Lok Baintan, yaitu berupa jalan tanah yang dikeraskan dengan tutupan berupa taburan batu koral. 

Sekitar 5 menit berjalan saya sudah bertemu kembali dengan jembatan berkonstruksi kayu khas Kalimantan Selatan yang dibuat menggembung atau melengkung ke atas di bagian tengah layaknya busur, hal ini menandakan bahwa sungai di bawahnya merupakan jalur lalu lintas aktif masyarakat dan ini menandakan di pedalaman atau sepanjang aliran anak sungai ada penghuni atau perkampungannya.

Jembatan kayu busur (Foto ; Koleksi Pribadi)
Jembatan kayu busur (Foto ; Koleksi Pribadi)
Dibandingkan dengan jalan berangkat menuju Lok Baintan yang posisinya berada di seberang sungai, jalan menuju pulang ke Kota Banjarmasin yang saya lalui sekarang lebih sempit dengan variasi lebar antara 1-2 meter saja  dan jauh lebih sepi. Jarang sekali saya bertemu dengan masyarakat yang beraktivitas, baik di kebun, ladang, rawa lebak atau di sepanjang jalan.

Sepanjang perjalanan yang lebih banyak melalui area hutan semak belukar, sebagian nipah, rawa lebak yang difungsikan sebagai sawah, kebun dan ladang masyarakat ini, masih jarang terlihat rumah penduduk. Kalaupun ada rumah penduduk biasanya lokasinya berkelompok di sekitar jembatan yang dibangun diatas aliran anak sungai Martapura yang menuju ke pedalaman. 

Di sinilah uniknya, sepanjang perjalanan sekitar 4-5 km saya bertemu dengan belasan jembatan berbagai ukuran dan berbagai konstruksi. Intinya, kalau jembatan dibuat rata dengan jalan, artinya sungai di bawahnya bukan jalur transportasi aktif dan di pedalaman atau di sepanjang aliran anak sungai biasanya tidak berpenghuni.

Jalanan sempit berbatu dan jembatan di sepanjang jalan (Foto : Koleksi Pribadi)
Jalanan sempit berbatu dan jembatan di sepanjang jalan (Foto : Koleksi Pribadi)
Dalam perjalanan pulang ini, saya beberapa kali bertemu dengan rombongan paunjunan (rombongan pemancing) yang sepertinya datang dari luar kampung dan komunitas goweser atau pesepeda yang menuju ke arah Lok Baintan. 

Khusus untuk  rombongan paunjunan, yang biasa berburu ikan haruan (Channa striata), papuyu (Anabas testudineus), sapat siam (Trichogaster pectoralis) dll dengan cara berkelompok, biasanya mereka mempunyai jadwal kunjungan ke lokasi pemancingan berupa rawa-rawa lebak secara teratur dan bergantian di tiap lokasi atau daerahnya dan biasanya mereka sudah hapal betul dengan siklus musim berburu ikan, maklum aktivitas maunjun (Bhs.Banjar ; memancing) bagi masyarakat Banjar bukan hanya sekedar hobi atau aktifitas menghabiskan waktu saja, tapi bisa menjadi profesi.

ikan haruan (Channa striata) di pasar semua produksi dari alam (Foto : Kolekso pribadi)
ikan haruan (Channa striata) di pasar semua produksi dari alam (Foto : Kolekso pribadi)
Sebagai gambaran, ikan haruan (Channa striata), papuyu (Anabas testudineus), sapat siam (Trichogaster pectoralis) adalah 3 jenis ikan paling diminati masyarakat Banjar, sebagai lauk untuk makan sehari-hari. Kebetulan kuliner andalan masyarakat Banjar seperti nasi kuning dan ketupat Kandangan, bahan utamanya ya ikan haruan (Channa striata) itu. 

Jadi permintaannya dari hari-kehari semakin tinggi seiring semakin populernya kuliner nasi kuninmg dan ketupat Kandangan dan sayangnya untuk budidaya ternak masih belum bisa maksimal. 

Mungkin ada yang sudah tahu harga sekilo ikan haruan atau ikan gabus di Banjarmasin? Sekarang untuk ukuran besar yang sekilo isi satu ekor, harganya sekitar 110.000,- /kg jadi kalau rata-rata sehari dapat 5 kg ikan haruan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan untuk menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Ini fakta lho! (Insha Allah, akan saya tulis dalam artikel terpisah).

Di Lokasi ini kawanan burung itu terlihat menyeberang jalan (Foto : Koleksi Pribadi)
Di Lokasi ini kawanan burung itu terlihat menyeberang jalan (Foto : Koleksi Pribadi)
Di perjalanan ini beberapa kali saya bertemu dengan beberapa satwa-satwa, seperti sejenis unggas, tupai, biawak dan entah apa namanya. Khusus untuk jenis unggas, beberapa kali saya melihat jenis yang belum pernah saya lihat sebelumnya, baik yang bertengger di dahan pohon maupun yang berjalan diatas tanah. 

Salah satunya, saya sempat terkaget-kaget, ketika tiba-tiba melihat sejenis burung yang hidup berkelompok sekitar 3-5 ekor, bentuknya seperti ayam mutiara tapi larinya sangat kencang diatas tanah  menyeberang jalan di hadapan saya.

Memasuki kampung Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Memasuki kampung Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Gambaran Desa Tandipah 9 Foto : Koleksi Pribadi)
Gambaran Desa Tandipah 9 Foto : Koleksi Pribadi)
Setelah berjalan sekitar, 3-4 km saya baru bertemu dengan perkampungan yang sedikit ramai, bangunan rumah lebih bervariasi dan tekstur jalanan kampung ini terlihat berbeda dengan kampung sebelumnya yang bertabur batu koral. 

Di kampung ini, terlihat sisa-sisa jalanan beraspal yang sepertinya sudah sangat lama sekali tidak diperbarui lagi, sehingga terkelupasnya sebagian besar aspal jalanan menyisakan kerikil dan batu split yang tampak di sepanjang jalan. 

Papan penunjuk arah SDN Sungai Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Papan penunjuk arah SDN Sungai Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Aktifitas masyarakat di luar rumah juga semakin terlihat, warung-warung kelontong juga mulai banyak terlihat menghiasi sepanjang jalan. Bahkan saya juga melihat ada papan penunjuk keberadaan sekolah, walaupun dari jalanan yang saya lalui bangunan fisik sekolah tidak nampak terlihat. 

Betul dugaan saya, ternyata saya memang sudah memasuki desa Tandipah yang menjadi muara dari perjalanan pulang saya menuju Kota Banjarmasin, karena setelah berjalan lagi sekitar 1-2 km  akhirnya saya bertemu dengan titian kayu ulin yang menuju ke Jembatan Gantung Tandipah. 

Setelah melewati titian sepanjang sekitar 50 meter, akhirnya jembatan gantung Tandipah mulai terlihat membentang panjang diatas Sungai Martapura.

Titian papan ulin menuju Jembatan Gantung Tandipah ( Foto : Koleksi Pribadi)
Titian papan ulin menuju Jembatan Gantung Tandipah ( Foto : Koleksi Pribadi)
Jembatan Gantung Tandipah dilihat dari sisi titian Desa Tandipah ( Foto : Koleksi Pribadi)
Jembatan Gantung Tandipah dilihat dari sisi titian Desa Tandipah ( Foto : Koleksi Pribadi)
Berbeda dengan konstruksi jembatan Gantung Lok Baintan yang rangka tiang utamanya terbuat dari  terbuat dari Kayu ulin atau kayu besi, konstruksi tiang utama jembatan Gantung Tandipah terbuat dari baja dengan penguat tali sling baja sebesar lengan anak-anak. Sedangkan untuk alas jembatan, berkebalikan dengan Jembatan Gantung Lok Baintan, di Jembatan Tandipah alasnya terbuat dari rangkaian papan kayu ulin. 

Walaupun bukan destinasi wisata, tapi pemandangan fragmentasi alam yang terlihat dari atas dan samping Jembatan Gantung Sungai Tandipah tidak kalah cantiknya dengan pemandangan dari Jembatan Gantung Lok Baintan.

Pemandangan alam dari atas Jembatan Gantung Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Pemandangan alam dari atas Jembatan Gantung Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Aktifitas transportasi sungai di bawah Jembatan Gantung Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Aktifitas transportasi sungai di bawah Jembatan Gantung Tandipah (Foto : Koleksi Pribadi)
Pemandangan dari samping Jembatan Gantung Tandipah ( Foto : Koleksi Pribadi)
Pemandangan dari samping Jembatan Gantung Tandipah ( Foto : Koleksi Pribadi)
Setelah menyeberangi Jembatan Gantung Tandipah, di samping kiri turunan bibir jembatan terdapat bangunan masjid disebelah kiri dan are pekuburan di sebelah kanan. Setelah menuruni titian dari papan kayu ulin sepanjang sekitar 20 meter, maka kita akan bertemu lagi dengan jalan kita berangkat menuju Pasar Terapung Lok baintan. 

Dari arah Jembatan Gantung Tandipah bila belok kiri maka kita akan menuju ke Pasar terapung Lok Baintan dan jika belok kanan maka kita akan bertemu dengan Jembatan busur di sekitar Pasar Tradisonal Sungai Lulut. Artinya, untuk kembali pulang ke arah Kota Banjarmasin maka kita ambil arah ke kanan dan setelah bertemu Jembatan Busur kita kembali ambil arah belok kanan. Disini kita sudah kembali menyusuri jalan Veteran dan mulai memasuki hiruk pikuk jalanan Kota Banjarmasin. 

Jembatan Busur, pintu masuk/keluar petualangan ( Foto : Koleksi Pribadi)
Jembatan Busur, pintu masuk/keluar petualangan ( Foto : Koleksi Pribadi)
Tertarik mencoba, menjelajahi alam Kalimantan Selatan plus menikmati sajian budaya sungai yang eksotis? Yuk....jalan-jalan ke Banjarmasin! Sampai jumpa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun