Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bernostalgia dengan Kerajinan Tangan Berbahan Triplek/Plywood

12 Desember 2016   21:56 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 6767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu duduk di bangku SD dan SMP di era 80-an sampai awal 90-an, ada salah satu mata pelajaran yang paling saya tunggu jadwal kehadirannya dibanding pelajaran-pelajaran yang lainnya, yaitu pendidikan Keterampilan. 

Saat itu, saya benar-benar dibuat terpesona oleh bapak atau ibu guru yang mengisi pelajaran. Di mata saya saat itu, mereka layaknya tokoh superhero yang bisa membuat alat atau peralatan apa saja yang dia mau dari bahan-bahan "remeh" yang ada disekitar kita. Saat itu saya beranggapan, merekalah orang-orang hebat yang sebenarnya! mereka layaknya tukang sulap yang bisa mengubah sebuah benda menjadi benda lain dalam sekejap. benar-benar serba bisa! yang secara nyata bisa saya lihat wujudnya, baik orangnya (pembuatnya) maupun produk yang dibuatnya. 

Bagaimana tidak, bapak atau ibu guru saya waktu itu dengan mudahnya bisa membuat patung kuda dari tanah yang dicampur air dari belakang sekolah, membuat pigura dari bahan lilin yang dilelehkan dan dicampur semen, membuat keset dari sampah sabut kelapa bahkan dari potongan sandal jepit bekas tidak terpakai yang diambil dari tong sampah, membuat sulak atau kemocing dari bulu ayam yang diminta dari tukang soto atau tali rafia dan yang paling membuat saya takjub adalah ketika kami saat itu diajari membuat mobil-mobilan, asbak, kap lampu, miniatur dokar, masjid, berbagai binatang sampai pistol-pistolan dari bahan triplek atau plywood bekas bahan bangunan. Hebat kan?

Proses pembuatan (Gambar : @pernikbanua)
Proses pembuatan (Gambar : @pernikbanua)
Selain beberapa aspek diatas, ada beberapa hal seru lainnya yang membuat saya dan teman-teman saat itu jadi antusias dengan mata pelajaran ketrampilan. Khusus untuk saya pribadi, semua "kesaktian" bapak dan ibu guru saya merubah bentuk dan fungsi benda satu menjadi benda yang lainnya ini, ternyata menjadi pemicu utama dalam membangun proses berimajinasi saya. Sedangkan proses praktek pengerjaan membuat berbagai barang "rumahan" ini, ternyata juga mampu merangsang daya kreatifitas, membuka wacana wirausaha, mengasah keterampilan berkomunikasi, melatih berjiwa besar dan bertoleransi dalam kerjasama tim, serta memupuk kepekaan sosial. Terlebih, ketika tugas praktik lebih sering diberikan secara berkelompok. 

Karena lebih sering diberi tugas secara berkelompok, maka secara otomatis media tugas ketrampilan tangan ini menjadi ajang silaturahmi dengan mengenal lebih jauh masing-masing teman sekolah, mengenal keluarganya, mengetahui alamat dan lokasi rumahnya (biasanya tugas dikerjakan dirumah masing-masing anggota kelompok secara bergantian sampai selesai). 

Kerja kelompok (Gambar : @pernikbanua)
Kerja kelompok (Gambar : @pernikbanua)
Jadinya, saat itu kalau mendapat tugas ketrampilan berekelompok, rasanya senang sekali (apalagi kalau anggota kelompok ada yang cakep...he...he....he....), setiap hari dengan berjalan kaki atau naik sepeda ontel, kami beranjangsana ke rumah teman secara bergantian di desa atau bahkan Kecamatan tetangga untuk mengerjakan tugas keterampilan. Keakraban, kepedulian dan kebersamaan yang tercipta benar-benar mengalir secara alamiah dan manfaatnya ternyata benar-benar terasa sampai sekarang, ketika kami sudah berada pada dunianya masing-masing.

Sekarang, jaman memang telah berubah! 

Konsep pendidikan keterampilan di sekolah seperti yang saya dapatkan waktu duduk di sekolah dasar dan menengah sepertinya sudah tidak populer lagi, bahkan sepertinya telah hilang dari peredaran. Sekarang anak-anak SD dan SMP hampir tidak mengenal lagi cara membuat sulak, keset atau bentuk-bentuk kretifitas lainnya (terutama di daerah saya, entah di daerah lain). 

Memang, sulak atau keset mungkin sekarang selain relatif murah dan mudah didapat juga sudah banyak industri skala besar yang membuatnya, sehingga sepertinya secara ekonomis sudah tidak layak lagi diperkenalkan (lagi) apalagi diproduksi secara masal oleh masyarakat atau mungkin karena perannya sudah tidak terlalu signifikan lagi dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, akibat munculnya berbagai produk teknologi modern yang syarat inovasi dan lebih praktis? Sehingga cara membuatnya tidak perlu lagi diajarkan kepada anak-anak penerus bangsa? Bisa jadi! 

Capung & kupu-kupu puzzle 3D (Gambar : @pernikbanua)
Capung & kupu-kupu puzzle 3D (Gambar : @pernikbanua)
mungkin semua ada benarnya, tapi menurut saya bukan nilai ekonomi/uangnya saja point yang didapat dari pendidikan keterampilan, tapi pelajaran positif lain seperti yang saya sebutkan diatas, seperti merangsang daya kreatifitas, wira usaha, komunikasi, kerjasama, toleransi, kepekaan sosial dan silaturahmi yang mengalir secara alamiah masih sangat dibutuhkan oleh anak-anak jaman sekarang. 

Bernostalgia dengan berkreasi

Bermula dari akumulasi kerinduan saya untuk bernostalgia pada proses berkreasi seperti yang diajarkan bapak dan ibu guru saya semasa masa kanak-kanak dulu dan sekaligus ingin memberikan sebuah wacana segar untuk mengisi kekosongan aktifitas kreatif anak-anak saya yang sepertinya semakin terjebak dengan rutinitas harian pola belajar anak-anak sekarang yang cenderung pragmatis dan seperti robot, saya mencoba untuk memulai kembali membangun kerangka untuk berproses kreatif dalam diri saya dan keluarga. 

Dengan bermodalkan tumpukan sisa-sisa memori usang yang masih tersimpan di kepala, saya mencoba membongkar, membedah sekaligus mengurai kembali berbagai pola untuk membangkitkan kreatifitas berikut berbagai materi kreatif yang pernah diajarkan bapak dan ibu guru semasa kanak-kanak dulu. 

Yang saya ingat, ada satu kalimat dari bapak guru keterampilan yang masih menempel dalam memori saya. Kurang lebih begini kalimatnya, " Jika berhasil, harus yakin dengan pilihanmu, serius menjalani dan menikmati semua prosesnya! Pilihlah yang paling kamu sukai! Insha Allah kamu pasti bisa!" Itulah kunci orang sukses kata bapak ibu guru keterampilan saya waktu itu. Wallahu 'Alam.

Beruntung, saya masih menyimpan sebuah miniatur masjid yang terbuat dari triplek bekas di rumah orang tua saya, karya monumental yang saya buat ketika masih duduk di bangku SD, belakangan karya saya inilah yang berhasil memacu kembali adrenalin kreatif saya juga anak-anak saya yang ternyata menyambut dengan baik wacana yang saya gulirkan. Saya katakan kepada mereka, inilah hasil karya bapak waktu masih SD dan kalian pasti juga bisa membuatnya! 

Berangkat dari moment ini, akhirnya perjalanan benar-benar saya mulai. Saya benar-benar serius mengenalkan kembali proses berkreatifitas memanfaatkan barang-barang bekas tidak terpakai, khususnya sisa-sisa triplek atau plywood yang kebetulan sangat mudah kami dapatkan, karena kebetulan komplek perumahan tempat saya tinggal sedang gencar-gencarnya melebarkan sayap dengan membangun proyek cluster-cluster baru. Sehingga buangan limbah bahan bangunan, termasuk triplek bekas cor menggunung di tempat pembuangan.

Wall decor hardtop (Gambar : @pernikbanua)
Wall decor hardtop (Gambar : @pernikbanua)
Diluar dugaan saya, seiring berjalannya waktu saya dan anak-anak saya tidak hanya sekedar memanfaatkan triplek bekas, untuk lebih menjaga kualitas dan estetika, sekarang kami memakai bahan baku berupa triplek berbahan kayu albasia baru untuk membuat berbagai kerajinan tangan seperti mobil-mobilan, kotak pensil, jam dinding, gantungan kunci, kotak tisu, kap lampu, puzzle 3 dimensi dan yang lainnya.

Karena kami berhasil mengolah dengan baik limbah-limbah kayu triplek tersebut menjadi sebuah karya seni yang punya estetika tinggi, produk karya kami ternyata banyak diminati oleh banyak kalangan tidak hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri, otomatis karya kami akhirnya mempunyai nilai ekonomis yang tidak murah.  

Secara perlahan, visi saya yang semula bisa dibilang "iseng", hanya sekedar bernostalgia sekaligus memberi wacana baru untuk anak-anak saya, akhirnya berubah. Seiring mulai "seriusnya" respon masyarakat (pasar) terhadap produk iseng saya, akhirnya sayapun juga serius membangun rumah produksi "pernik banua bungas".

Kap lampu (Gambar : @pernikbanua)
Kap lampu (Gambar : @pernikbanua)
Walaupun masih berskala rumahan alias masih kecil-kecilan, secara bertahap saya mulai memperbaiki semua aspek dalam proses produksi dan sistem manajerial secara umum. Mudah-mudahan kedepan, upaya saya untuk menjaga sekaligus membangun kreatifitas (minimal untuk saya dan keluarga saya) sekaligus bernostalgia dengan berbagai pernik kerajinan tangan yang diajarkan bapak-ibu guru saya, ketika duduk di bangku SD dan SMP ini bisa menjadi inspirasi untuk Indonesia sekaligus menjadi jalan keberkahan untuk semuanya. Amin.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun