Bermula dari akumulasi kerinduan saya untuk bernostalgia pada proses berkreasi seperti yang diajarkan bapak dan ibu guru saya semasa masa kanak-kanak dulu dan sekaligus ingin memberikan sebuah wacana segar untuk mengisi kekosongan aktifitas kreatif anak-anak saya yang sepertinya semakin terjebak dengan rutinitas harian pola belajar anak-anak sekarang yang cenderung pragmatis dan seperti robot, saya mencoba untuk memulai kembali membangun kerangka untuk berproses kreatif dalam diri saya dan keluarga.Â
Dengan bermodalkan tumpukan sisa-sisa memori usang yang masih tersimpan di kepala, saya mencoba membongkar, membedah sekaligus mengurai kembali berbagai pola untuk membangkitkan kreatifitas berikut berbagai materi kreatif yang pernah diajarkan bapak dan ibu guru semasa kanak-kanak dulu.Â
Yang saya ingat, ada satu kalimat dari bapak guru keterampilan yang masih menempel dalam memori saya. Kurang lebih begini kalimatnya, " Jika berhasil, harus yakin dengan pilihanmu, serius menjalani dan menikmati semua prosesnya! Pilihlah yang paling kamu sukai! Insha Allah kamu pasti bisa!"Â Itulah kunci orang sukses kata bapak ibu guru keterampilan saya waktu itu. Wallahu 'Alam.
Beruntung, saya masih menyimpan sebuah miniatur masjid yang terbuat dari triplek bekas di rumah orang tua saya, karya monumental yang saya buat ketika masih duduk di bangku SD, belakangan karya saya inilah yang berhasil memacu kembali adrenalin kreatif saya juga anak-anak saya yang ternyata menyambut dengan baik wacana yang saya gulirkan. Saya katakan kepada mereka, inilah hasil karya bapak waktu masih SD dan kalian pasti juga bisa membuatnya!Â
Berangkat dari moment ini, akhirnya perjalanan benar-benar saya mulai. Saya benar-benar serius mengenalkan kembali proses berkreatifitas memanfaatkan barang-barang bekas tidak terpakai, khususnya sisa-sisa triplek atau plywood yang kebetulan sangat mudah kami dapatkan, karena kebetulan komplek perumahan tempat saya tinggal sedang gencar-gencarnya melebarkan sayap dengan membangun proyek cluster-cluster baru. Sehingga buangan limbah bahan bangunan, termasuk triplek bekas cor menggunung di tempat pembuangan.
Karena kami berhasil mengolah dengan baik limbah-limbah kayu triplek tersebut menjadi sebuah karya seni yang punya estetika tinggi, produk karya kami ternyata banyak diminati oleh banyak kalangan tidak hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri, otomatis karya kami akhirnya mempunyai nilai ekonomis yang tidak murah. Â
Secara perlahan, visi saya yang semula bisa dibilang "iseng", hanya sekedar bernostalgia sekaligus memberi wacana baru untuk anak-anak saya, akhirnya berubah. Seiring mulai "seriusnya" respon masyarakat (pasar) terhadap produk iseng saya, akhirnya sayapun juga serius membangun rumah produksi "pernik banua bungas".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H