Ikan Haruan (Channa Striata)
(Sumber Gambar : Budidaya Ikan)
Kota Banjarmasin adalah salah satu kota di Indonesia yang tinggi permukaan tanahnya lebih rendah dari permuakan laut. Dengan posisi 60-80 cm dibawah permukaan laut menyebabkan daratan Kota Banjarmasin sebagian besar berapa lahan basah atau rawa-rawa kantong air dengan kedalaman yang bervariasi. Inilah salah satu sebab mengapa di Kota Banjarmasin banyak terdapat aliran sungai baik besar maupun kecil yang membelah kota. Kalau dilihat dari udara, Kota Banjarmasin seperti sekumpulan pulau-pulau kecil yang disatukan oleh ratusan aliran sungai (bukan 1000 dalam jumlah sebenarnya seperti julukannya, Kota 1000 Sungai. Bilangan 1000 pada julukan Kota 1000 sungai sama seperti fungsi penyebutan pada nama Pulau Seribu atau Lawang Sewu yang lebih bermakna banyak).
Sumber gambar : Budaya Banjar
Kondisi alam Kota Banjarmasin dan sebagian besar Kalimantan Selatan yang berair, menyebabkan masyarakatnya sangat akrab dengan berbagai kuliner yang berbahan dasar ikan, terutama ikan air tawar yang hidup di rawa-rawa, sungai dan area persawahan di lahan rawa pasang-surut atau rawa lebak yang jenis jan jumlahnya sangat melimpah. Seperti Ikan Haruan, Tauman (Gabus), Papuyu (betik/betok), patin, Sapat dan sapat Siam (sepat), pipih (Belida), Â adungan, saluang (sejenis wader) dan banyak lagi yang lainnya. Sehingga secara psikologis dan ekonomis ikan dianggap lebih murah dan mudah untuk mendapatkannya. Tinggal ambil (maiwak) di kolong rumah, sungai depan rumah atau sawah di samping rumah dengan berbagai cara. Bisa diunjun (dipancing), dihancau, dipayir, dibanjur, dilunta atau pakai cara-cara lain khas masyarakat Kota Banjarmasin yang terkenal jago menangkap ikan. Begitu juga sebaliknya, karena kurangnya lahan kering untuk pertanian, menyebakan kebanyakan masyarakat Kota Banjarmasin kurang menyukai sayur-sayuran. Selain relatif lebih susah untuk mendapatkan sayuran (sebagian besar sayuran yang beredar di Kalimantan Selatan dan Tengah dipasok dari Pulau Jawa), harga sayuran juga relatif lebih mahal dibandingkan dengan ikan konsumsi dari air tawar, apalagi waktu musim gelombang tinggi ketika kapal-kapal yang membawa pasokan sayur-mayur dari pulau Jawa tidak bisa berlayar, maka pasokan berbagai sayur-mayur akan melalui jalur udara! Bisa ditebak, berapa kali lipat harga sayur-mayurnya.
Sumber Gambar : FMIPA Unlam
Tapi sekarang, sepertinya keadaan mulai berbalik. Daya dukung lingkungan perairan darat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan yang semakin menurun ditambah perilaku sebagian masyarakat yang sering tidak mengindahkan keseimbangan ekosistem, menyebabkan kelangkaan beberapa komoditas ikan lokal yang sebelumnya begitu melimpah dan terlanjur menjadi salah satu bagian terpenting ikon kuliner masyarakat Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan secara umum. Sebut saja Ikan Haruan (Channa Striata) si ikan predator dan Ikan Papuyu (Anabas Testudneus)Â atau ikan betik/betok (Jawa). Dua jenis ikan ini merupakan ikan paling populer dalam kuliner khas masyarakat Kota Banjar dan suku Banjar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur secara umum.
Berita terbaru yang dikabarkan oleh TVRI Kalimantan Selatan pada berita sore bertajuk Habar Banua tadi sore, menyebutkan saat ini harga ikan haruan ukuran sedang (isi 2-3 ekor/kg) dipasaran mencapai Rp. 80.000/kg, sedangkan untuk ikan haruan ukuran besar (satu ekor > 1kg) harganya mencapai Rp.100.000-105.000/kg. Keadaan serupa juga terjadi pada ikan papuyu (betok/betik). Ikan yang di pulau Jawa sama sekali tidak mempunyai nilai ekonomis ini, di Banjarmasin harganya menjulang tinggi melebihi harga ikan haruan. Menurut beberapa narasumber pedagang ikan di Pasar Kertakhanyar Jl. A. Yani km 7 Kabupaten Banjar, yang diwawancarai secara live menyebutkan "amun ada ikannya, haraganya pasti labih larang pada haruan tu pang! Bisa saratus dua puluhan bisa jua labih lagi....." (Bila ada ikannya, harganya pasti lebih mahal daripada ikan haruan! Bisa seratus dua puluh ribuan, bisa juga lebih #per kg-nya).
Salah satu penyebab mahalnya harga 2 jenis ikan tersebut adalah kelangkaan! Ironis bukan? Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan yang notabene adalah habitat hidup sekaligus gudang dari ikan-ikan tersebut, lha kok sekarang justeru mengalami kelangkaan. Apa yang salah? Ada apa dengan habitat mereka? Kemana mereka pergi?