Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penting, Tes Buta Warna Sejak Dini

23 Oktober 2015   23:41 Diperbarui: 24 Oktober 2015   10:00 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai manusia biasa, aku sangat terpukul dengan kenyataan ini. Jiwaku merasakan goncangan yang begitu dahsyat, duniaku serasa telah berakhir.

=================================================

Sistem pendidikan di Indonesia belum memberikan akses tes buta warna sejak dini sebagai bagian dari perencanaan pendidikan jangka panjang yang tentunya sangat berkorelasi dengan akses kehidupan masa depan warga negaranya. Entah apa alasan pemerintah sampai detik ini belum juga memberi akses dimaksud!? Padahal, ternyata status “tidak buta warna” menjadi syarat mutlak untuk melanjutkan pendidikan tinggi berbasis eksakta dan untuk berkarir di kemiliteran dan hampir semua kedinasan milik pemerintah.

Seperti kisah dalam cerpen “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)” diatas. Tokoh Bintang yang digambarkan sebagai seorang anak yang punya prestasi pendidikan diatas rata-rata secara akademik, mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter dan demi meraih cita-citanya Bintang selalu berusaha menjaga semangat dan memperjuangkan cita-citanya dengan berusaha keras belajar, belajar dan belajar. Tapi sayang, mimpi tinggal mimpi. Cita-cita Bintang untuk menjadi dokter harus dikuburnya dalam-dalam, karena buta warna! Sebuah kelainan pada organ mata yang sebelumnya sama-sekali tidak diketahuinya dan celakanya, ternyata “status” sebagai penyandang buta warna adalah catatan angka mati alias haram untuk diterima di jalur pendidikan eksakta termasuk didalamnya ilmu kedokteran yang menjadi cita-citanya sejak kecil. Yang paling menyakitkan dan menggoncang jiwanya adalah kenyataan bahwa informasi status sebagai penyandang buta warna baru diketahui setelah secara akademik Bintang dinyatakan lulus tes di Fakultas Kedokteran.

sumber gambar : yafiselon.blogspot.co.id

Dari kisah diatas, mungkin kita bisa membayangkan apa yang tengah dirasakan oleh seorang Bintang dan tentunya keluarga besarnya!? Bukan hanya perasaan dan uang yang telah dikorbankan Bintang dan keluarganya tapi satu lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu “waktu”. Tidak mungkin waktu diputar kembali untuk merevisi “cita-cita” baru! Sementara untuk berpindah haluan kepada cita-cita yang lain, tentu juga bukan tidak beresiko dan pasti bukan perkara yang mudah!

Bintang telah “salah” memilih cita-citanya! Karena takdirnya sebagai penyandang kelainan buta warna plus kelalaian pemerintah dalam menjamin hak-hak warga negara yang menyandang buta warna, karena ketiadaan akses perencanaan dan pemetaan potensi untuk pendidikan anak-anak Indonesia sejak dini, khususnya tes buta warna!

Kalau boleh berandai-andai, seandainya sistem pendidikan di Indonesia memberlakukan test buta warna sejak dini, tentu fenomena si Bintang dan Bintang-Bintang lainnya akan berbeda akhir ceritanya!. Tentu si-Bintang sadar diri dan tidak akan memaksakan dirinya untuk membangun cita-cita menjadi dokter bila sejak dini dia mengetahui kalau dirinya menyandang buta warna. Sehingga energi yang ada bisa disalurkan lebih efektif untuk membangun harapan dan cita-cita lain yang sesuai dengan statusnya sebagai penyandang buta warna, dengan begitu kerugian material maupun nonmaterial bisa dihindari sejak dini pula. Bagaimana pemerintah?

Test buta warna sejak dini untuk anak-anak Indonesia tidak hanya diperlukan oleh para orangtua sebagai dasar untuk membantu merencanakan dan menentukan arah jalur pendidikan dan masa depan yang sesuai dengan potensi yang dimilki oleh si anak, tapi sebenarnya juga penting untuk pemerintah. sebagai dasar pemetaan potensi anak-anak Indonesia, generasi penerus yang kelak pasti akan menerima estafet kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang dengan cara yang lebih efektif dan efisien, sekaligus untuk menyusun blueprint jangka panjang manajemen sumber daya manusia Indonesia

Coba bayangkan! Seandainya tiap tahun di Indonesia ada 1.000 saja generasi emas bangsa ini yang bernasib sama seperti Si-Bintang yang salah memilih cita-cita karena buta warna, tentu bangsa Indonesia telah rugi besar! kehilangan banyak generasi emas, generasi potensial yang seharusnya bisa diberdayakan dengan benar.

Berangkat dari kisah tragis diatas! Saya menyarankan (sekali lagi) kepada para orang tua dan perusahaan penyedia rencana pendidikan mengawali perencanaan pendidikan putra-putri kita dengan fitur tes buta warna, lebih dini lebih baik! Jangan sampai putra-putri kita bernasib tragis seperti fenomena si-Bintang, rugi waktu, biaya dan tentunya kesempatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun