Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Wacana Impor Beras yang Bikin Gaduh

27 Maret 2021   11:38 Diperbarui: 27 Maret 2021   11:46 1426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Luas dan pola panen padi, 2019-2021 (Sumber: BPS)

Salah satu isu yang mengemuka belakangan ini adalah importasi beras. Meski pemerintah baru saja menegaskan bahwa tidak ada impor hingga Juni, isu ini sebetulnya bisa diredam lebih awal jika keputusan tegas bisa diambil lebih cepat.

Kesan bahwa pemerintah tidak kompak soal impor beras mestinya bisa dihindari. Dalam beberapa pekan terakhir, publik disuguhi dinamika penggodokan kebijakan strategis yang seolah tanpa koordinasi dan mengabaikan data statistik. Sebuah kebijakan yang efektif mestinya dituntun oleh bukti lapangan yang terekam melalui data (evidence based policy).

Kita disuguhi silang pendapat dan debat publik yang sebetulnya tidak perlu. Politik beras negeri ini memang terkadang pelik. Ini bukan hanya soal data tapi juga tempat bergumulnya berbagai kepentingan. Alhamdulillah, pada akhirnya kepentingan para petani (kecil) yang dimenangkan.

Terlepas dari alasan untuk memperkuat iron stock, importasi beras diwacanakan pada timing yang sangat tidak tepat. Maret hingga April adalah masa panen raya. Dalam kondisi normal, ini adalah pola musiman  yang terjadi secara persistent selama ratusan tahun, sejak statistik padi dikumpulkan untuk pertama kalinya pada masa kolonial.

Melihat pola panen yang tersaji pada gambar di atas, isu importasi beras bisa dimaklumi jika diwacanakan pada masa paceklik panen, yakni periode Juni-Juli atau November-Desember.

Mestinya, Badan Urusan Logistik (Bulog) disiapkan dan didukung sepenuhnya sejak awal tahun untuk menyerap seoptimal mungkin gabah dan beras produksi petani sepanjang periode Januari-April 2021.

Potensinya sangat besar. Hasil Survei Kerangka Sampel Area (KSA) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Maret menunjukkan bahwa potensi produksi beras pada Januari-April 2021 mencapai 14,54 juta ton.

Produksi Beras, 2019-2021 (Sumber: BPS)
Produksi Beras, 2019-2021 (Sumber: BPS)
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020, angka tersebut memperlihatkan bahwa ada potensi kenaikan produksi beras pada Januari-April 2021 sebesar 26,84 persen. Kondisi ini tidak terlepas dari efek La Nina yang mendukung realisasi penanaman padi di akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021 karena curah hujan yang mendukung.

Catatan memang perlu diberikan kepada angka BPS tersebut karena masih bersifat potensi. Namun, hasil kajian yang dilakukan BPS selama ini memperlihatkan bahwa data potensi cukup akurat meskipun tidak seratus persen tepat. Selisih angka potensi dan angka tetap secara rata-rata sekitar 5 persen. Kalaupun angka potensi dikoreksi sekitar 10 persen, produksi Januari-April 2021 tetap melimpah dan lebih tinggi dari tahun lalu.

Angka potensi yang disampaikan BPS juga sejalan dengan perkembangan harga gabah di tingkat petani di awal tahun, yang memperlihatkan tren penurunan. Petani umumnya mengeluhkan bahwa harga gabah jatuh. Ini merupakan indikasi bahwa produksi padi memang melimpah. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika impor 1 juta ton beras jadi dilakukan.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Meskipun sangat besar, produksi beras nasional sebetulnya ditopang oleh agregasi produksi jutaan petani padi skala kecil. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai petani padi di Indonesia hanya sekitar 0,39 hektar.

Tidak membuat heran jika hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Padi yang dilaksanakan BPS pada 2017 lalu memperlihatkan bahwa rata-rata keuntungan yang diperoleh dari mengusahakan satu hektar padi sawah hanya sekitar 5 juta rupiah per musim tanam (tiga bulan).

Impor beras saat panen raya, ketika harga gabah di tingkat petani rendah, dipastikan bakal memukul telak kesejahteraan petani padi dan keluarganya. Alasannya sederhana, harga merupakan komponen penting yang menentukan keuntungan yang dapat diperoleh petani dari gabah yang diproduksi.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Faktanya, selama ini harga gabah selalu jatuh saat panen raya. Ini mengakibatkan Nilai Tukar Petani (NTP) padi,  yang dianggap merepresentasikan kesejahteraan petani cenderung menurun saat panen raya. Karena itu, mengamankan harga gabah adalah kunci menjaga kesejahteraan petani. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun