Apakah pertanian kita produktif dan berkelanjutan? Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena produksi pangan bukan hanya soal urusan perut kita yang hidup saat ini, tapi juga kehidupan generasi mendatang.
Kita bertanggung jawab untuk memastikan bahwa mereka dapat mengakses pangan dengan kuantitas dan kualitas yang sama bahkan lebih baik dari yang kita nikmati saat ini.
Karena pentingnya hal ini, Tujuan 2 Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), Tanpa Kelaparan, memberi perhatian khusus pada isu pertanian berkelanjutan.
Perhatian tersebut dikonkretkan melalui Target 2.4 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang berbunyi "Pada 2030, menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan praktik-praktik pertanian yang memiliki daya tahan yang meningkatkan produktivitas dan produksi, mempertahankan ekosistem, memperkuat kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya, dan secara progresif meningkatkan kualitas lahan dan tanah."
Pertanian berkelanjutan merupakan jantung dari agenda SDGs yang ditargetkan bakal tercapai pada 2030. Pencapaian target ini merupakan langkah yang sangat menentukan dalam mengamankan tujuan tanpa kelaparan. Lalu bagaimana memastikan pertanian kita telah berkelanjutan?
Tentu saja, sebuah alat ukur yang objektif sangat dibutuhkan. Organisasi Pangan dan Pertanian dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) telah merumuskan sebuah indikator untuk menjawab kebutuhan ini, yang diberinama indikator SDG 2.4.1. Indikator ini memberikan gambaran kuantitatif mengenai tingkat keberlanjutan pertanian yang diukur melalui proporsi wilayah pertanian di bawah pertanian produktif dan berkelanjutan.
Dalam prakteknya, perhitungan indikator SDG 2.4.1 sedikit kompleks dan melibatkan sebelas sub-indikator. Setiap sub-indikator mewakili dimensi keberlanjutan area pertanian secara setara. Dimensi tersebut terdiri dari dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dengan demikian, proporsi atau persentase area pertanian yang tidak berada di bawah pertanian yang produktif dan berkelanjutan diwakili oleh sub-indikator dengan proporsi terbesar.
Meskipun telah diterima secara global untuk mengukur pertanian berkelanjutan, hingga saat ini belum banyak negara di dunia yang menghitung indikator ini karena terkendala ketersediaan data.
Salah satu solusi efektif bagi negara-negara dengan sistem pungumpulan statistik pertanian yang lemah untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan Agricultural Integrated Survey (AGRIS) sesuai rekomendasi FAO.
Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia?
Untuk menghitung indikator SDG 2.4.1, Badan Pusat Statistik (BPS) menginisiasi Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) yang akan mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk perhitungan indikator SDG 2.4.1 dan juga indikator-indikator SDG lainnya terkait Tujuan 2 yang selama ini belum tersedia, yakni indikator 2.3.1 dan 2.3.2.
Survei ini baru akan dilaksanakan di seluruh Indonesia pada tahun ini. Meskipun demikian, tahun lalu, uji coba survei telah dilaksanakan di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Hasilnya ternyata sedikit mengagetkan. Betapa tidak, sekitar 90 persen area pertanian di tiga lokasi uji coba tidak memenuhi kriteria pertanian produktif dan berkelanjutan karena produktivitas lahan yang relatif rendah.
Temuan uji coba survei sebetulnya mengkonfirmasi salah satu tantangan pertanian di Indonesia, yakni tingginya proporsi pertanian skala kecil (small scale food producers) dengan produktivitas yang rendah. Dengan demikian, mengangkat produktivitas mereka adalah kunci.
Yang juga mengkhawatirkan adalah praktik penggunaan pupuk kimia secara berlebihan. Kondisi ini mengancam keberlangsungan budidaya tanaman pertanian di masa datang karena hilangnya kesuburan tanah akibat menipisnya unsur hara dan mineral penting lainnya.
Hasil uji coba survei menemukan bahwa sekitar 60 persen lahan pertanian di tiga lokasi uji coba survei menggunakan pupuk secara berlebihan tanpa memperhatikan mitigasi risiko yang bakal terjadi.
Temuan ini sudah sepatutnya menjadi perhatian kita semua. Dari uji coba SITASI, ada indikasi kuat bahwa pertanian kita jauh dari praktik yang produktif dan berkelanjutan. Dengan demikian, modernisasi teknik budidaya pertanian yang ramah lingkungan harus dilakukan untuk memacu produktivitas.
Pada saat yang sama, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan oleh petani harus diakhiri. Hal ini, antara lain, dengan mendorong penggunaan pupuk organik atau kombinasi pupuk kimia dan organisk secara berimbang. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H