Pada saat yang hampir bersamaan Indonesia dan Australia mengalami hal yang sama: kontestasi politik untuk memperebutkan kekuasaan.
Di Negeri Kanguru, pertarungan juga melibatkan dua kubu yang saling berhadap-hadapan. Kubu pertama adalah Koalisi Liberal-Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri Scott Morisson. Sementara kubu kedua adalah Partai Buruh yang dipimpin oleh Bill Shorten.
Panasnya pertarungan sudah terasa sejak tahun lalu. Saling serang terkait pilihan kebijakan ekonomi kedua kubu dan sejumlah isu strategis seperti perubahan iklim mewarnai perdebatan di media. Publik disuguhi rivalitas yang sehat dan berkelas yang dibalut pertarungan gagasan syarat data tentang bagaimana negara yang populasinya hanya 1/10 populasi Indonesia itu dikelola.
Di awal tahun ini, menjelang pemungutan suara, pertarungan semakin panas dan meruncing. Koalisi melancarkan kampanye negatif yang menyerang agenda ekonomi yang diusung oleh Partai Buruh.
Scott Morison (Scomo) berulangkali menyampaikan, di setiap tempat yang dikunjungi, bahwa Partai Buruh terbukti kerap gagal dalam mengelola anggaran negara. Selalu defisit. Beda dengan pemerintahan Koalisi yang berhasil menjaga anggaran tetap surplus dalam beberapa tahun terakhir. Terakhir kali Partai Buruh mempersembahkan anggaran surplus adalah ketika penyanyi Taylor Swift lahir, 30 tahun yang lalu.
Scomo juga mengatakan bahwa agenda ekonomi Partai Buruh akan dibiayai dengan pajak yang mahal. Pajak akan dinaikkan dan menyasar semua kalangan, dari pensiunan hingga orang meninggal. Prioritas pada perubahan iklim dan energi terbarukan hanya akan memukul sektor pertambangan Australia dan menambah jumlah pengangguran.
Bill Shorten tidak tinggal diam. Tangkisan juga diberikan. Surplus anggaran yang selalu dibanggakan oleh Koalisi menurutnya dicapai dengan mengorbankan banyak hal. Pemotongan anggaran pendidikan dan jaminan sosial diantaranya. Terkait pemotongan pajak, langkah yang diambil pemerintahan Koalisi dianggap hanya menguntungkan pebisnis besar dan kaum elit Australia.
Terkait isu perubahan iklim, ia menyerang Scomo dengan sebutan penghuni goa (cave dweller) yang tidak peka terhadap isu global dan masa depan Australia.Â
Hebatnya, betapapun keras dan panasnya pertarungan, tak ada satupun orang yang dipolisikan. Alhasil, polisi Australia bisa fokus kepada tugas pokoknya: memberikan rasa aman kepada masyarakat. Debat di media sosial juga tidak diramaikan dengan nama-nama binatang.
Begitulah adanya ketika demokrasi diterapkan di sebuah negara dengan institutional set up yang kuat, tidak korup, dan bisa dipercaya. Masyarakatnya juga siap, makmur-sejahtera, dan well-educated.