IPM) tahun 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 April lalu kembali menegaskan capaian Indonesia yang mengesankan dalam pembangunan manusia.
Indeks Pembangunan Manusia (Rilis BPS tersebut memperlihatkan bahwa, secara rata-rata, orang Indonesia memiliki kapabilitas dasar (tingkat kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan) yang lebih baik daripada sebelumnya. BPS melaporkan bahwa secara nasional IPM mencapai level baru, yakni 71,39 pada 2018, atau mengalami peningkatan secara substansial sebesar 0,58 poin dari tahun sebelumnya (70,81).
Untuk mengukur keberhasilan dalam mencapai tujuan tersebut secara tepat, UNDP menggunakan IPM, sebuah indeks komposit yang dirancang untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia melalui tiga dimensi, yaitu kehidupan yang panjang dan sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak.Â
Secara teknis, dimensi pertama diwakili oleh harapan hidup saat lahir. Dimensi kedua dikuantifikasi oleh dua indikator, yaitu, harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Sementara itu, dimensi terakhir diukur melalui pengeluaran per kapita.
BPS menghitung bahwa peningkatan IPM pada 2018 merupakan hasil peningkatan di semua dimensi penyusun indeks. Bayi yang lahir pada 2018 diperkirakan akan hidup sampai 71,20 tahun atau lebih lama 0,14 tahun dari mereka yang lahir pada 2017.
Terkait capaian di bidang pendidikan, anak-anak berumur tujuh tahun pada 2018 dapat berharap untuk menikmati sekolah selama 12,91 tahun ke depan atau 0,06 tahun lebih lama dari mereka yang memiliki usia yang sama pada 2017.Â
Demikian juga, orang yang berusia 25 tahun ke atas rata-rata telah menyelesaikan pendidikan selama 8,17 tahun pada 2018 atau 0,07 tahun lebih lama daripada mereka pada usia yang sama pada 2017. Dalam hal standar hidup, progress capaian pembangunan manusia dijelaskan oleh peningkatan signifikan dalam pengeluaran per kapita tahunan dari Rp 10,66 juta pada 2017 menjadi Rp11,06 juta pada 2018.
Sayangnya, di tengah kemajuan mengesankan yang telah diperoleh dari komitmen kuat terhadap pembangunan manusia yang diterjemahkan ke dalam serangkaian program yang dilaksanakan dengan baik, banyak orang Indonesia masih tertinggal dalam hal kapabilitas dasar yang diukur melalui ketiga dimensi IPM. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan yang nyata atau disparitas dalam pencapaian pembangunan manusia yang terjadi antar individu, gender, dan wilayah.
Dalam konteks antar individu, perbedaan tersebut dipotret dengan baik oleh rasio pengeluaran Gini (sebagai proksi ketimpangan pendapatan) dan rasio Gini dari rata-rata lama sekolah.
Meskipun pertumbuhan ekonomi yang stabil sekitar 5 persen dalam beberapa tahun terakhir telah menurunkan tingkat kemiskinan ke tingkat terendah dalam sejarah, yakni sekitar 9 persen dari total populasi, setiap orang tidak mendapatkan manfaat yang sama dari hasil pertumbuhan ekonomi tesebut. BPS melaporkan bahwa rasio Gini pengeluaran yang dihitung berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada bulan September tahun lalu mencapai 0,39.Â