Angka ini menunjukkan bahwa sebagian kecil penduduk masih mendominasi bagian terbesar dari total agregat pendapatan. Tepatnya, 20 persen teratas populasi dengan pendapatan terbesar menikmati sekitar 46 persen dari total pendapatan sementara 40 persen terbawah hanya memperoleh sekitar 17 persen dari keseluruhan kue ekonomi. Sementara itu, rasio Gini dari rata-rata lama sekolah adalah sekitar 0,31 pada tahun 2018 yang menegaskan adanya disparitas dalam hal rata-rata lama sekolah yang dicapai di antara orang-orang berusia 25 tahun ke atas.
Ketimpangan dalam hasil pembangunan manusia juga jelas terlihat antara pria dan wanita. Pada 2017, IPM untuk pria adalah 74,85 atau 6,8 poin jauh lebih tinggi dari IPM perempuan. Meskipun perempuan mengungguli laki-laki untuk dimensi kesehatan yang ditunjukkan oleh harapan hidup yang lebih lama saat lahir, mereka berkinerja lebih buruk dalam hal pendidikan dan standar hidup. Pada 2017, rata-rata lama sekolah perempuan adalah 7,65 tahun, sekitar satu tahun lebih pendek dari laki-laki yang sebesar 8,56 tahun.Â
Sementara itu, dalam hal pengeluaran per kapita bulanan, perempuan hanya sekitar setengah dari laki-laki. Kesenjangan antara keduanya juga dijelaskan oleh Indeks Pemberdayaan Gender yang sebesar 71,74 pada 2017. Angka tersebut menegaskan bahwa perempuan masih kurang terwakili dalam lingkaran kepemimpinan dan pengambilan keputusan, dan mereka sering mendapatkan upah lebih sedikit daripada rekan-rekan pria mereka di pasar kerja.
Tantangan dalam pemerataan capaian pembangunan manusia yang paling besar adalah kesenjangan regional yang sangat lebar dalam pencapaian pembangunan manusia. Sebagai perbandingan, Provinsi DKI Jakarta memiliki IPM tertinggi 80,47, yang dianggap termasuk kategori sangat tinggi berdasarkan kategorisasi UNDP, sedangkan Provinsi Papua memiliki IPM terendah 60,06 (kategori menengah).Â
Ini berarti bahwa perbedaan antara kedua provinsi tersebut adalah sekitar 20 poin. Kesenjangan yang luas juga terjadi antara daerah-daerah (kabupaten/kota) yang terdapat di dalam provinsi yang sama. Di Papua, misalnya, IPM Kota Jayapura sekitar tiga kali lipat dari IPM Kabupaten Nduga.
Kesenjangan regional juga hadir di semua dimensi IPM. Sebagai contoh, harapan hidup bayi yang lahir di Papua tahun lalu tujuh tahun lebih pendek daripada bayi yang lahir di Jakarta. Orang-orang berusia 25 tahun ke atas di Jakarta memperoleh pendidikan 4,5 tahun lebih lama daripada mereka yang seusia di Papua. Sementara itu, pengeluaran tahunan per kapita orang di Jakarta adalah 2,5 kali lebih tinggi daripada di Papua.
Kita harus ingat bahwa ada hubungan kuat antara ketimpangan hasil-hasil pembangunan dan konflik kekerasan karena melemahnya kohesi sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, cukup jelas bahwa mempersempit kesenjangan dalam pembangunan manusia adalah salah satu tugas utama pemerintah baru yang akan datang.Â
Untuk melakukannya, kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan dan layanan kesehatan dasar bagi semua, di mana pun mereka berada dan siapapun mereka, harus ditempatkan sebagai prioritas utama.
Juga, untuk berbagi kemakmuran secara lebih setara, strategi dan kebijakan pembangunan yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, di mana setiap orang, termasuk orang yang kurang mampu, dapat memperoleh manfaat lebih banyak juga harus menjadi agenda utama dalam pembangunan ekonomi.Â
Singkatnya, menutup celah kesenjangan dalam pembangunan manusia hanya dapat dicapai dengan memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang tertinggal dan terlupakan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H